Pak Mujie, Pengguna Biogas Rumah (BIRU) Pertama di Sulawesi Tenggara

Sapi Bali (Bos Sondaicus) merupakan jenis hewan yang paling banyak diternakkan oleh masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan, salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahkan, dari sekitar 250.000 populasi sapi di Sulawesi Tenggara, sekitar 35 persennya berada di Kabupaten Konawe Selatan, seperti dikutip dari laman berita AntaraSultra.com. Namun sayangnya, keberadaan sapi Bali sebagai hewan ternak ini belum memberikan manfaat yang optimal kepada para pemilik hewan ternak. Sebagian besar peternak sapi ini belum merasakan manfaat biogas yang dapat diperoleh dari kotoran hewan tersebut. Meskipun pernah tercatat ada beberapa biogas yang pernah dibangun di Kabupaten Konawe Selatan, hampir seluruh pemilik biogas hanya merasakan manfaatnya di awal dan setelahnya tidak dapat digunakan lagi.

Pemanfaatan kotoran sapi untuk menghasilkan biogas sebenarnya telah diperkenalkan kepada masyarakat di Konawe Selatan melalui program kegiatan KKN-PPM UGM pada tahun 2013. Termasuk di antaranya adalah Pak Mujie, salah seorang warga Desa Andoolo Utama di Kecamatan Buke yang memiliki mata pencaharian sebagai petani dan memiliki sapi Bali sebagai hewan ternaknya. Kemudian pada tahun 2016, tim KKN-PPM UGM menjalin kerjasama dengan Biogas Rumah (BIRU) untuk membangun satu unit biogas berkapasitas 4 m3 sebagai proyek perintis yang diharapkan dapat menginspirasi masyarakat sekitarnya. Proses pengerjaan biogas ini ditangani oleh kantor cabang Rumah Energi yang berada di Makassar dan berhasil diselesaikan pada tanggal 6 Agustus 2016. Bisa dikatakan bahwa Pak Mujie merupakan orang pertama di Provinsi Sulawesi Tenggara yang menggunakan BIRU untuk keperluan memasak sehari-hari dan memanfaatkan bio-slurry (ampas biogas) untuk pupuk pertanian.

Pak Mujie, sebagai pemilik rumah yang mendapatkan biogas ini merasakan banyak manfaat yang bisa didapatkan dari biogas ini. Kotoran sapi yang biasanya pada musim penghujan mengganggu tetangga sekitarnya kini tidak lagi menjadi permasalahan. Pak Mujie dapat menghemat konsumsi LPG untuk memasak, bahkan untuk keperluan sehari-hari istrinya cukup menggunakan biogas, sedangkan LPG hanya digunakan pada saat-saat tertentu saja. Bio-slurry yang dihasilkan dari biogas ini ia olah sendiri untuk menjadi pupuk yang ia gunakan di ladang dan sawahnya. Ia mengaku sangat puas dengan biogas yang dibangun. Saat ditanya apakah biogasnya masih berfungsi, Pak Mujie berkata,

“Wah masih berfungsi mas. Bagus sekali. Saya senang sekali makainya…,” jawabnya dengan sangat gembira.

Menjelang usia 7 bulan dari biogas yang ia miliki, ia telah melakukan penyesuaian volume air pada manometer yang digunakan sebagai pengukur tekanan gas. Penyesuaian ini dilakukan atas inisiatifnya sendiri karena air yang sebelumnya digunakan sebagai pengisi manometer berkurang sehingga tekanan yang ditunjukkan oleh skala pada manometer menjadi tidak tepat.

Penggantian air pada manometer yang dilakukan oleh Pak Mujie

Dalam proses pembangunan BIRU tersebut, Pak Mujie sendiri juga ikut terlibat dan menyumbangkan tenaganya. Ia banyak belajar dari Pak Jufri, salah seorang tukang yang dikirimkan dari salah satu mitra pembangun biogas Rumah Energi di Makassar, baik dari proses konstruksi, penggunaan, serta perawatan. Oleh karena itu, ia sudah tidak canggung lagi dalam menggunakan biogas dan memahami dengan baik seluk-beluk biogas yang ia gunakan. Ia bahkan tidak ragu untuk melakukan perawatan sendiri. (Jihan A. As-sya’bani)

21 Februari 2017