Kami di Sini Tidak Hanya Membantu Para Suami

“Kisah tentang biogas yang membantu pengembangan kelompok-kelompok perempuan.”

Ketika kami tiba di satu rumah yang terletak di Dusun Bangsal, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tampak sekelompok ibu-ibu menyembulkan kepala mereka keluar dari pintu utama rumah. Kami lalu turun dari mobil, dan mereka mulai sibuk. Sembilan bersaudara yang semuanya adalah perempuan, menyambut kami dengan ramah, mereka bersenda gurau satu sama lain agar suasana menjadi ramai dan hangat. Terlihat juga seorang nenek di antara ibu-ibu tersebut yang ikut bergabung dan bercanda dalam guyonan.

Waspadalah bagi para laki-laki, jika ketahuan masih lajang, maka bisa saja dilamar oleh para ibu-ibu ini untuk anak perempuan atau keponakan perempuan mereka. Bahkan si nenek pun ikut bergurau, beliau juga membutuhkan sosok laki-laki setelah suaminya meninggal.

“Inilah suasana desa, sambutan yang begitu hangat,” kata Witono ‘Wiwit’ Sasongko, Koordinator Program Energi dan Lingkungan dari Yayasan Sion Salatiga. Selama lebih dari satu tahun yayasan ini  (lembaga diakonia dari Gereja Kristen Jawa Tengah Utara) mendampingi kelompok ibu-ibu di Dusun Bangsal dalam mewujudkan misinya yaitu memberdayakan masyarakat Indonesia.

“Kami percaya bahwa dengan sekecil apapun yang kami miliki, kami tetap bisa melayani banyak orang,” kata Wiwit. “Program kami fokus pada pertanian, karena masyarakat yang kami dampingi adalah petani.”

Lima tahun silam, sekitar 30 petani perempuan ini membentuk kelompok ibu-ibu di Dusun Bangsal, diberi nama Kartika Manunggal, artinya Bintang Bersatu. Sejak kelompok ini dibuka, Kartika Manunggal telah menyambut kedatangan UNESCO dan mantan gubernur Jawa Tengah terkait dengan kualitas sayur lobak dan sukses dipasarkan ke Singapura dan Hong Kong.

“Di desa, para perempuan benar-benar tulang punggung,” kata Ibu Ari, mantan ketua kelompok tersebut. “Kami bangun duluan dibandingkan para suami, dan memasak untuk mereka. Lalu kami sama-sama berangkat ke ladang, ikut mencari rumput, kami bawa cangkul semua lho. Kemudian masih harus ngurus anak-anak kalau malam. Saya pikir kalau musim sekarang (musim tanam) jam kerja ibu-ibu melebihi pak presiden kayaknya!”

“Harapan kami, ibu-ibu di sini tidak hanya membantu para bapaknya. Ibu-ibu pingin punya pendapatan yang lainlah. Kami juga berhak untuk kumpul-kumpul, refreshing, dan berbagi.”

Belakangan ini dengan bantuan Wiwit, kelompok Kartika Manunggal sudah mencapai keinginannya dengan biogas.

“Kalau biogas oke lah,” lanjut Ibu Ari. “Isinya kotoran sapi saja, di sini banyak sapi, jadi murah. Tidak perlu cari-cari LPG di toko, enggak apa-apa kalau LPG lagi tidak ada, di kami masih nyala. Bio-slurry juga kami pakai.”

Sebelum memakai bio-slurry, ampas biogas yang keluar dari sebuah reaktor, Ibu Ari mengeluhkan tanahnya yang terlalu asam akibat pupuk kimia. Beliau mengatakan bahwa dengan penggunaan bio-slurry sebagai pupuk organik, waktu panen memang sedikit lebih lama, tetapi hasil panen lebih tahan terhadap hama dan bertahan lebih lama.

Bio-slurry juga digunakan oleh ibu-ibu di kelompok Kartika Manunggal untuk menyemai bibit sayuran, setelah mendapatkan informasi dari Wiwit mengenai hal tersebut. Sebelumnya, medium persemaian terdiri dari campuran antara pupuk kimia dan tanah biasa, tetapi apabila campurannya tidak tepat, maka semua tunas baru dapat layu dan mati. Sebaliknya, dengan bio-slurry yang sudah dikeringkan sangat aman untuk digunakan. Selain itu, jika terdapat benih atau biji-bijian pada kotoran sapi akan hancur saat melewati proses pencernaan anerobik di dalam sebuah reaktor biogas.

Perkembangan terakhir dari kelompok ibu-ibu ini adalah penggunaan bio-slurry untuk membudidayakan jamur.

Witono ‘Wiwit’ Sasongko di dalam lahan budidaya jamur di Dusun Bangsal (foto – Witono Sasongko)

“Kami sudah budidaya jamur selama dua musim,” kata Ibu Ari. “Kalau yang pakai bio-slurry baru sekarang. Sebelumnya pernah budidaya jamur, tetapi pakai serbuk gergaji. Kalau perbandingannya, produksinya sama dan mungkin lebih besar, tetapi biayanya lebih ringan karena tidak harus beli serbuk gergaji. Ternyata limbah bisa dimanfaatkan, tidak usah dibuang sia-sia.”

Dengan biogas, maka kelompok ibu-ibu ini hampir mandiri energi, dan mandiri untuk menghasilkan pupuk dan bahan dasar pertanian lainnya. Hasil panen yang dipupuk atau dibudidayakan dengan bio-slurry ternyata tidak jauh berbeda, tetapi harganya jauh lebih murah. Ibu-ibu juga menjadi lebih menikmati untuk berbagi dan bekerja bersama-sama.

Masalahnya hanya satu.

“Sayangnya, kami hanya ada empat reaktor di sini,” cerita Ibu Ari. “Bagus sudah tidak mikir cari LPG, ke ladang bisa lebih tenang. Kami juga mau bukan hanya untuk masak, tetapi bisa untuk panasin air. Kalau di sini air pegunungan dingin sekali, ibu-ibu tidak berani mandi pagi, mandinya siang saja. Kalau hujan seperti ini, ya enggak mandi!”

Ruang tamu mulai penuh dengan canda tawa. Setelah itu ibu-ibu mulai berdebat dengan Wiwit cara membuat pestisida organik dari daun sirsak, khusus untuk pohon cabai.

Meskipun wawancara kami dengan para ibu-ibu sudah berakhir, kami tidak dijinkan pulang dan dijamu dulu dengan segala macam makanan khas desa. Kami menyantap peyek bayam, sayur daun pepaya dan ikan goreng sampai kekenyangan. Si nenek masih saja membicarakan tentang ingin punya suami lagi, dan rasanya seperti kami di sini tidak seperti kunjungan singkat saja.

Sebelum berpamitan, tahu-tahu tangan kami telah terisi tiga kilogram jamur dan kami tidak boleh menolak. Dengan pengetahuan yang mereka peroleh, ibu-ibu di kelompok Kartika Menunggal berani untuk mencoba dan menerapkan, untuk mengubah hidup menjadi lebih baik dan berkualitas. Menolak pemberian dari mereka pasti akan berdosa. (Joshua Parfitt)

10 Januari 2017