Menangkap Peluang Ekonomi dari Ampas Biogas

entrepreneur.bisnis.com – Theresia Rukiatun (45), warga Pagerjurang, Sleman, Yogyakarta pernah dibuat kesal oleh kelangkaan gas elpiji pada 2013. Sebagai salah seorang pengolah susu sapi yang membutuhkan banyak pembakaran, gas adalah modal utamanya untuk memproduksi susu.

Lantaran kelangkaan gas terjadi cukup lama, dia memutuskan untuk beralih menggunakan biogas. Dia terinspirasi dari tetangganya seorang peternak yang sudah menggunakan biogas lebih dulu. Tanpa banyak pikir, dia memilih biogas sebagai alat pembakaran dan kebutuhan sehari-hari.

Rukiatun rela harus merogoh kocek hingga Rp12,8 juta untuk instalasi biogas. Pemasangan tersebut disesuaikan dengan pemakaian gas yang dibutuhkan. Dia mengandalkan bermacam kotoran ternak yang ada sebagai bahan penghasil gas. Sejak saat itu, Rukiatun tak lagi mengeluh soal kelangkaan gas.

“Tahun ini masuk tahun ketiga saya pakai biogas. Manfaatnya sangat terasa dan juga aman. Selain bisa berhemat, saya justru sedang memutar otak untuk memeroleh usaha sampingan dari hasil biogas ini,” ujarnya pada Bisnis.com, Rabu (14/9/2016).

Rukiatun benar-benar happy. Penggunaan biogas rumahan yang dilaksanakan oleh konsorsium lembaga pendanaan asal Belanda, Hivos dan Yayasan Rumah Energi itu bisa mengubah pola pengeluaran keuangan bulanannya. Selain itu, dia juga mengaku senang bisa mendukung program penurunan emisi dan energi.

Bukan soal penghematan saja yang dia rasakan. Ternyata, ampas dari biogas atau limbahnya yang disebut bio-slurry pun bisa bermanfaat untuk dijadikan pupuk organik. Bahkan, bio-slurry bisa dijadikan bisnis sampingan. “Kalau saya menyebutnya bio-slurry ini adalah bonus,” ujarnya.

Bio-slurry alias ampas biogas, kata dia, bisa diproduksi hingga mencapai 12 kg per hari atau tergantung pemakaian. Bentuk awalnya berupa cairan. Tetapi Rukiatun mengolah bio-slurry itu menjadi kering dengan memasukan ke kantong plastik atau karung yang dikeringkan di tempat khusus.

Rukiatun sadar betul bio-slurry itu bisa menjadi alternatif pupuk bagi petani yang ada di wilayahnya. Dia mulai mengumpulkan pemakai biogas rumahan di wilayahnya untuk sama-sama mempelajari peluang ekonomi dari ampas biogas tersebut.

“Selama ini memang saya gunakan sendiri untuk pupuk tanaman di sekitar rumah. Tapi ada beberapa kelompok pemakai biogas yang sudah menjual hingga 1 ton ke kelompok petani,” ujarnya.

Meidi Syaflan, peneliti Institut Pertanian Yogyakarta yang juga fokus meneliti bio-slurry mengatakan perhatian pemerintah dan masyarakat tentang bio-slurry saat ini rendah, karena masih berkutat pada penggunaan biogasnya saja. Sementara ampasnya sebagian besar dibuang begitu saja.

Menurutnya, pengetahuan terkait potensi bio-slurry alias ampas dari biogas bisa menjadi penopang ekonomi masyarakat.

“Terutama untuk kalangan petani yang selama ini kerap menggunakan pupuk anorganik,” ujarnya pada Bisnis di sela seminar bio-slurry di Bogor, Rabu (14/9).

Data yang diperoleh dari Hivos (Humanist Institute for Co-operation with Developing Countries) menyebutkan, bio-slurry merupakan produk akhir limbah organik yang dihasilkan dari kotoran ternak dan sampah organik melalui proses fermentasi.

Bio-slurry dinilai baik untuk dijadikan pupuk pertanian, kolam hingga pakan ikan dan itik. Kandungan dalam bio-slurry antara lain nitrogen, phospor, kalium, kalsium, magnesium, sulfur dan nutrisi mikro seperti magnesium dan lainnya.

Selain itu, bio-slurry bisa menyuburkan tanah sehingga produktifitas tanaman akan lebih baik. Saat ini, mengutip data Hivos, sudah lebih dari 15.000 petani telah mengadopsi biogas sebagai energi bersih untuk memasak dan penerangan melalui program biogas rumah tangga (Biru).

Meidi memaparkan temuan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat terutama kalangan petani dari adanya bio-slurry harus disambut pemerintah. Sebab, sambungnya, pihaknya selama ini merasa tidak diindahkan oleh pemerintah untuk mengembangkan bio-slurry tersebut.

“Kami ingin pemerintah memfasilitasi untuk pengembangan bio-slurry. Ini adalah program rakyat agar bisa dikelola dengan baik. Ajak rakyat dengan sistem ini agar mereka tahu manfaatnya,” katanya.

Saat ini, wilayah paling banyak yang memanfaatkan bio-slurry antara Jawa Tengah, Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat. Ketiga daerah tersebut menurut survey pertanian pada 2013 tercatat sebagai wilayah peternak terbesar di Indonesia. Sehingga kotoran ternak sebagai bahan baku biogas yang menghasilkan bio-slurry lebih banyak di wilayah tersebut.

Dia menuturkan selain bio-slurry bisa menjadi objek pendapatan masyarakat petani, diperkirakan kualitas pertanian di Indonesia juga akan meningkat seiring dengan pemakaian pupuk organik hasil dari bio-slurry tersebut.

Oleh karena itu, sambungnya, pemerintah atau kalangan industri pupuk anorganik untuk tidak khawatir dengan pupuk organik yang dihasilkan bio-slurry tersebut. “Selama ini kenapa pemerintah tidak fokus di program ini, mungkin takut ada konflik kepentingan dengan industri,” paparnya.

Muhammad Firdaus, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor mengatakan kebijakan pemerintah saat ini dinilai telah baik dengan memberikan alokasi anggaran untuk pupuk organik bagi petani.

Dia mendukung harus ada program lebih lanjut terkait pemanfaatan teknologi pertanian dengan menggencarkan penggunaan pupuk organik dan juga bio-slurry.

Firdaus menampik jika penggunaan pupuk organik baik yang dibuat manual maupun hasil olahan biogas akan mengancam industri pupuk anorganik. Sebab, sambungnya, penggunaan kedua jenis pupuk tersebut memiliki porsinya masing-masing.

“Karena untuk beberapa kasus penggunaan pupuk organik tidak bisa menggantikan pupuk anorganik. Kalau tanah kekurangan fosfor ya tidak bisa pakai organik juga. Jadi tidak betul industri pupuk anorganik akan kehilangan pasar. Kalau menurun mungkin iya,” katanya.

(Sumber: http://entrepreneur.bisnis.com/read/20160915/263/583979/javascript)

15 September 2016