Dapatkan Modal Anda Kembali … dan Bahkan Dapatkan Lebih dari yang Diinvestasikan

Kisah tentang biogas yang memberikan manfaat dari segi ekonomi kepada para peternak di Jawa Timur.

Ternak Puyuh – Sebuah Perbandingan

“Anda tahu, saya akan selalu selangkah lebih maju dari para petani lain. Anda bisa mendapatkan hasil dari kotoran ternak puyuh tanpa mendapatkan hasil dari telur, tetapi Anda tidak bisa mendapatkan hasil telur tanpa mendapatkan hasil dari kotoran ternaknya, dan saya telah menghitung bahwa untuk setiap kotoran yang dikeluarkan oleh ternak puyuh saya, saya memperoleh Rp. 5,-. Jadi saya katakan pada para petani lainnya, anda menjual sebutir telur seharga Rp. 255,-? Saya menjualnya seharga Rp. 260,-.”

Pak Arum menatap ke sekeliling ruang tengah di kediamannya sementara para tamunya terbahak-bahak, namun di balik seringai senyumannya, apa yang disampaikannya adalah fakta nyata. Peternak puyuh berusia 45 tahun dari Blitar, Jawa Timur ini menghemat lebih dari Rp 6.000.000,- setiap tahun, bersyukur dengan adanya biogas yang berhasil mengurangi kebutuhan LPG untuk bisnis kateringnya sehari-hari.

Bolu kukus buatannya disajikan di atas meja terasa empuk dan lembut, padanan yang sempurna untuk secangkir teh manis. Setelah mengirimkan dagangan risolesnya, Pak Arum menyamankan diri dan mulai menceritakan kisah biogasnya.

“Saya sudah menyaksikan banyak sekali konflik sosial di sekitar sini,” ujarnya, “saya sudah menyaksikan para tetangga mengeluhkan kepada perangkat desa tentang bau dari kotoran puyuh.” Hal itulah yang sebelumnya membuatnya enggan untuk menjadi peternak puyuh. “Hanya setelah saya mendengar tentang kotoran puyuh yang dapat diubah menjadi biogas, saya memberanikan diri untuk memulai.”

Setelah mencari informasi tentang Program Biogas Rumah (BIRU) di internet ia beberapa kali menelpon, dan pada akhirnya menghubungi salah seorang supervisor dari salah satu mitra pembangun biogas setempat dari Program BIRU, yaitu Pak Rujuk.  “Saya menghubungi Pak Rujuk dan kebetulan ia sedang membangun reaktor biogas tidak jauh dari tempat saya!,”  Pak Arum berujar, “ia datang untuk berkunjung, kemudian mengajak saya untuk melihat-lihat reaktor biogas, saya penasaran dan ingin sekali untuk mendapatkan lebih banyak informasi.”

Reaktor biogas berkapasitas 12 m3 milik Pak Arum dibangun pada bulan Juli 2015, namun reaktor tersebut belum berjalan dalam kapasitas penuh. Limbah sebanyak 20 kg yang ia masukkan ke dalam reaktor setiap hari dapat ia ditingkatkan hingga 60 kg. Pak Arum saat ini berencana untuk meningkatkan populasi burung puyuhnya dari 1.000 ekor menjadi 3.000 ekor.

Pak Rujuk berujar bahwa keputusan kliennya lebih didasari atas ‘kotoran’ yang dihasilkan ketimbang produksi telurnya.

Menurut Pak Rujuk potensi biogas dalam pasar produksi telur sangat menjanjikan. Namun demikian, biogas menghadapi dua permasalahan utama, antara lain  biaya untuk membangun reaktor  biogas, dan sebagian besar petani telah menjual kotoran ternaknya sebagai pupuk kompos.

Reaktor BIRU terdiri dari bermacam ukuran, yaitu 4 m3, 6 m3, 8 m3, 10 m3 dan 12 m3. Di Blitar, untuk membangun reaktor biogas berukuran 12 m3, seorang peternak harus mengeluarkan biaya Rp. 10.000.000,-, sebuah nilai uang yang cukup besar mengingat UMR sekitar Rp 1.300.000,-/bulan. Namun, banyak para pengguna biogas yang merasakan bahwa mereka dapat memperoleh kembali pengeluaran yang dikeluarkan tersebut dengan cepat. Contohnya, pengurangan kebutuhan LPG, Pak Arum dapat merasakannya dalam waktu kurang lebih satu setengah tahun. Dengan meningkatkan populasi burung puyuhnya, maka bisa ia capai kurang dari satu tahum.

Ini bukan berarti para peternak puyuh perlu mulai berbisnis katering. Pak Miseli dari Kediri memiliki kisah yang menarik dari kolam ikannya.

Dengan membangun reaktor biogas berkapasitas 6 m3 enam bulan yang lalu, Pak Miseli tidak lagi perlu untuk membeli LPG. Untuk menafkahi keluarga kecilnya, tabungan tahunannya telah bertambah sekitar Rp. 900.000,-. Namun, biogas tidak hanya memberikan manfaat bahan bakar untuk keperluan memasak bagi pemiliknya, terdapat juga ampas biogas yang telah difermentasi yang disebut bio-slurry. Ampas biogas yang disebut bio-slurry ini tidak berbau, dapat langsung digunakan sebagai pupuk, dan memiliki lebih banyak lagi aplikasi, termasuk untuk pakan ikan.

“Sebelum menggunakan ampas biogas, ikan gurame dan lele saya sering sakit,” ujar Pak Miseli, “dan pertumbuhannya lambat.  Dengan menambahkan ampas biogas ke kolam, saya dapat panen dua bulan lebih cepat dibandingkan waktu yang biasa. Saya tidak menggunakan banyak pakan ikan konsentrat, dan ikan peliharaan saya jauh lebih sehat. Ampas biogas meningkatkan jumlah plankton selain juga berfungsi sebagai pakan ikan alami di air.”

Dari angka-angka yang diperoleh Pak Miseli, Program Biogas Rumah (BIRU) telah menghitung bahwa penghematan dari sisi pakan ikan untuk gurame saja mencapai Rp. 5.400.000,- untuk setiap siklus panen delapan bulan. Dengan biaya konstruksi untuk reaktor biogas berkapasitas 6 m3 mencapai Rp. 6.500.000,- per unit, Pak Miseli memerlukan dua kali siklus panen agar dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk pembangunan biogas.

Angka-angka ini termasuk besar apabila dibandingkan dengan menjual kotoran puyuh sebagai pupuk.  Harga jual satu karung kotoran puyuh ukuran 50 kg adalah Rp. 7.000,-. Artinya dengan 1.000 ekor burung puyuh, Pak Arum hanya memperoleh satu juta rupiah setahun. Selain menggunakan biogas juga menghilangkan persoalan bau yang ditimbulkan, Pak Arum sangat antusias tentang bahwa kisahnya akan menginspirasi petani-petani lainnya di Blitar.  Ia telah mendorong lebih dari 45 kawan peternak lainnya dan kenalannya untuk berinvestasi pada teknologi biogas ini.

Cacing Tanah – Bentuk Ternak Baru

Kurang lebih terdapat 7.300 unit reaktor biogas di Jawa Timur.  Dari angka ini, sekitar 6.700 unit dimiliki oleh peternak sapi perah, bersyukur pada usaha koperasi peternak sapi perah yang mempromosikan teknologi energi terbarukan ini.

Tahun 2013 yang lalu, mitra pembangun biogas LPKP (Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan) ingin menggunakan peluang ini dan membantu sekelompok peternak sapi perah anggota koperasi peternak susu KUD Karangploso di Karangploso, Malang agar menghasilkan pendapatan melalui ampas biogas.

Untuk melakukannya, mereka memperkenalkan kepada para petani tentang bentuk ternak yang baru, yaitu cacing tanah.

Salah satu dari 15 anggota kelompok khusus peternak cacing tanah, Pak Soleh mendapatkan modal awal cacing tanah seberat 5 kg pada tahun 2013 dan sejak itu telah mulai membudidayakannya. Tampak Pak Soleh membawa tiga kantong besar rumput gajah sebagai pakan sapi perahnya. Setelah menyimpan rumput di kandang sapi di belakang rumahnya, ia mulai berbagi pengalamannya.

“Saat itu tahun 2013, dapat saya katakan kalau saya puas dengan pembelian reaktor biogas tersebut, namun tidak demikian dengan istri saya,” ujar Pak Soleh. Istri beliau, Ibu Rofiqoh masuk ke ruangan dengan sajian teh manis yang baru dimasak dengan biogas. “Begini,” jelas Ibu Rofiqoh, “Saya dulunya bingung. Apa yang dimaksud dengan slogan BIRU ‘olah limbah jadi berkah’? Iya benar, kami tidak lagi membeli LPG, dan saya terkesan dengan kotoran sapi yang bisa menghasilkan api, tetapi ampas biogasnya dibuang begitu saja ke sungai.” Ibu Rofiqoh menawarkan kripik singkong buatan desa setempat sebelum berhenti dan menambahkan, “hanya setelah kami diberikan cacing tanah, saya baru benar-benar memahami makna dari slogan BIRU tersebut.”

Di tahun 2014 saja, Pak Soleh memperoleh total penghasilan sebesar Rp. 10 juta hanya dengan menjual cacing tanah.  Oleh karena ia memiliki reaktor biogas dengan kapasitas 6 m3, artinya dalam waktu delapan bulan modalnya telah kembali. Sementara peternak puyuh Pak Arum dan Pak Miseli menghemat uang, Pak Soleh malah menghasilkan uang.

Pada saat-saat tertentu, Pak Soleh menghasilkan uang Rp. 700.000,- sampai dengan Rp. 800.000,- dari budidaya cacingnya setiap dua minggu. Uang ini digunakan untuk membayar biaya sekolah anak-anaknya. Hal lain misalnya, membuat pak Soleh mampu menjadi tuan rumah pada acara keluarga besar yang mendadak diadakan dan mampu meningkatkan jumlah ternak sapinya dari tiga menjadi tujuh ekor.

“Sebelumnya apabila saya kekurangan uang saya akan menjual satu dari ternak sapi saya,” ujar Pak Soleh, “sekarang saya hanya perlu menjual ternak cacing tanah saya.”

Keberhasilan ini tidak hanya dirasakan oleh Pak Soleh. Pak Untung, yang juga berasal dari kelompok yang sama di Karangploso, masih ingat ia memperoleh uang sebesar Rp. 2.800.000,- dalam sebulan hanya dengan menjual cacing tanah. Pada suatu saat, jumlah anggota dari kelompok khusus peternak cacing meningkat dari 15 menjadi 68 orang.

Selain pesanan dalam jumlah besar, terutama dibeli oleh petani budidaya udang, Pak Soleh telah berhasil menemukan banyak manfaat lain dari cacing tanah. Ampas biogas yang tersisa setelah cacing tanah dipanen, yang dikenal sebagai kascing (bekas cacing), adalah pupuk kompos berkualitas tinggi.  Pak Soleh mampu untuk menjual kascing seharga Rp. 15.000,- per kantong, selain juga menggunakannya untuk memupuk tanaman di lahan pertaniannya. Selain itu, ia telah menjadikan cacing-cacingnya sebagai bahan pakan bagi 10 ekor bebek peliharaannya, sehingga ia dapat mengurangi kebutuhan pakan bebek konsentrat lebih dari 90% dan melakukan penghematan sekitar Rp. 300.000,- untuk setiap siklus panen.

“Kami juga telah menjualnya seharga Rp 5.000,- segenggam, untuk kebutuhan pengobatan,” jelas Ibu Rofiqoh, “ada metode pengobatan tradisional Jawa untuk Typhus dengan rebusan cacing!,” ujarnya sambil tertawa.  “Tempo hari Pak Soleh sakit selama berhari-hari, hampir dua minggu lamanya dan ia masih belum sembuh.  Menurut saya ia harus minum rebusan cacing, namun ia menolak dengan keras dan mengatakan ‘tidak!’  Setelah itu, ketika ia tertidur saya mempersiapkan minuman teh, saya mencampur minuman dengan rebusan cacing sebentar, dan mengangkatnya serta meletakkan minuman teh di tepi ranjangnya.  Keesokan harinya ia bangun dan merasa sehat, dan saya tidak menyinggung sama sekali tentang rebusan cacing yang saya campur dengan minuman teh.”

Pak Soleh, yang sekarang telah memaafkan istrinya, terkekeh-kekeh sebelum kemudian menambahkan, “Indonesia terkenal dengan berbagai macam rempah kesehatan, tampaknya ternak cacing tanah saya sekarang menjadi salah satunya!.”

Pasar Biogas

Karakteristik Program BIRU adalah bahwa reaktor biogas tidak diberikan secara cuma-cuma.  Lebih dari itu, Program BIRU mencoba membuka pasar baru.  Menurut Pak Wasis, Koordinator Provinsi Jawa Timur, mengatakan bahwa apabila pembeli melakukan investasi finansial, maka mereka akan didorong untuk memanfaatkan pembeliannya semaksimal mungkin.

Karena pasarnya berkembang maka para pemilik usaha, seperti Pak Iwan, kemudian juga tertarik untuk berinvestasi dalam teknologi biogas ini.

“Saya mulai membuat suku cadang reaktor biogas sejak tahun 2011,” ujar Pak Iwan di kantor bengkel lasnya, “manfaatnya sebanding untuk usaha saya, peluangnya besar dan tidak hanya di Jawa Timur.  Saya telah mendapatkan pesanan dari Papua, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat, saat ini saya sedang mengerjakan pesanan sebanyak 120 reaktor biogas dari Sulawesi.  Pesanan terus berdatangan.”

Tidak semua reaktor biogas dibuat untuk keperluan Program BIRU, tetapi banyak dijual juga kepada pemerintah atau program-program lainnya.  Meskipun demikian, Pak Iwan mengatakan, “mereka semua menginginkan reaktor biogas model BIRU.”

Reaktor BIRU yang berkualitas tinggi ini sudah sangat akrab bagi Pak Iwan.  Selain memiliki usaha bengkel las, ia juga pemilik salah satu usaha yang saat ini menjadi mitra pembangun biogas yang membuat reaktor biogas untuk Program BIRU, ia harus memecat salah seorang tukang oleh karena mutu pengerjaanya yang buruk.  Reaktor biogas tersebut kemudian dibongkar dan dibangun kembali dengan biaya yang ditanggung sendiri oleh Pak Iwan.  “Kita harus memberikan jaminan dengan kualitas tinggi dari teknologi yang diterapkan apabila kita ingin dianggap serius,” tegas Pak Wasis.

“Kami berusaha untuk menciptakan lebih banyak inovasi, kami ingin mengembangkan pasarnya,” ujar Pak Iwan.  “Saat ini kami sedang belajar cara memodifikasi mesin diesel sehingga bisa dioperasikan dengan bahan bakar biogas, dan seandainya tidak kebanjiran pesanan dari Sulawesi kami pasti sudah mencoba untuk memodifikasi pembangkit listrik bertenaga diesel.”

Biogas Merambah ke Pasokan Listrik

Pak Hermanto adalah seorang peternak unggas dari Jawa Timur.  Baru-baru ini ia membangun reaktor biogas dan menggunakan gas yang dihasilkan untuk menghangatkan anak ayam yang baru menetas.  Ia sangat tertarik dengan potensi biogas agar dapat merambah ke sektor peternakan unggas.  Ia mengeluhkan, “banyak peternak unggas, yang berpaling karena harganya.  Apabila biogas dapat menawarkan manfaat yang lebih dari sekedar gas dan pupuk, mungkin pasokan listrik, saya percaya mereka akan kebanjiran pesanan,” ujarnya kepada tim BIRU lewat pembicaraan di telepon.

Meskipun demikian, seperti yang diketahui, biogas dan ampas biogas dapat menguntungkan.  Tim BIRU berkunjung ke Salatiga, Jawa Tengah, untuk mengetahui tentang berbagai perkembangan terbaru.

Di sebuah kandang sapi berukuran kecil di belakang rumah Pak Yusmin, ada mesin pemotong rumput yang telah dioperasikan selama enam bulan dengan hanya menggunakan biogas sebagai bahan bakarnya.  Di sebuah sudut ada mesin pemerah susu yang telah dioperasikan dengan generator listrik yang berbahan bakar biogas untuk jangka waktu yang sama.  Mesin tersebut hanya berhenti beroperasi karena ditendang oleh sapi yang kabur dari kandang.

Putra Pak Yasmin, yang memodifikasi mesin diesel agar dapat dioperasikan dengan biogas, mengatakan prosesnya sangat sederhana.  “Saya sedang akan menuju Semarang untuk membeli generator listrik diesel sebelum anda muncul untuk mewawancarai saya!,” ujarnya.

“Lain kali apabila anda berkunjung kembali,” ia menunjuk ke televisi di sudut ruangan, dan lampu di langit-langit, sebelum melanjutkan, “semuanya akan dioperasikan dengan bahan bakar biogas.” (Joshua Parfitt)

13 September 2016