Berkah BIRU bagi Pembangun Biogas

Siang yang dingin menyapa kami saat berkunjung ke Dusun Lebo, Desa Madiredo, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dusun Lebo terletak di kaki pegunungan Taman Hutan Rakyat (TAHURA) Raden Soeryo sisi selatan. Dengan ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut, daerah ini memang bersuhu dingin cenderung sejuk. Gerimis dan kabut menjadi menu harian bagi warga desa ini.

“Maaf mas, saya sedang kurang enak badan, kurang istirahat. Sudah dua hari ini istirahat di rumah.”

Kalimat itu diucapkan oleh Suprapto alias Prapto, 42 tahun, seorang tukang biogas Koperasi Sinau Andandani Ekonomi (SAE) Pujon.  Ia warga asli Lebo, pekerjaan utamanya adalah tukang, dan sejak remaja saya sudah belajar menukang. Bapak satu anak ini bercerita, keterlibatannya dalam biogas dimulai sejak tahun 1999. Saat itu, ia diajak tetangganya yang seorang tukang, membangun biogas model “gentong” sejumlah 27 unit di sebuah perkebunan karet di Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Ia menjadi pembantu tukang pada waktu itu.

“Saya mengerti tentang biogas dari tetangga saya itu, mas. Sama sekali tidak pernah mengikuti pelatihan teknis biogas, karena saat itu ilmu tentang biogas masih rahasia,” jelas Prapto.

Suatu ketika Prapto bekerja membangun rumah Nurkayin, seorang karyawan di Koperasi SAE Pujon, yang baru saja bermitra dengan Program Biogas Rumah (BIRU). Nurkayin sedang mencari tukang yang akan dilatih sebagai tukang biogas dan menawarkan pada Prapto. Prapto pun langsung menerima tawaran itu. Sejenak ia bertanya dalam hati,“Apakah biogas sekarang sudah tidak rahasia lagi ya?.”

Pada bulan Maret tahun 2010 ia pun mengikuti kegiatan pelatihan tukang BIRU di Pujon selama delapan hari. Dari pelatihan itu ia akhirnya mengetahui bahwa biogas bukanlah sesuatu yang rahasia dan rumit.

“Biogas itu ternyata gampang banget, mas. Reaktor BIRU itu ternyata simpel dan mudah dibangun selama mengikuti standarnya, gampang dioperasikan, dan gampang perawatannya.”

Prapto melanjutkan bahwa selama pelatihan itu baru tahu kalau membangun biogas itu tidak bisa asal bangun, ada syarat dan standar yang harus dipenuhi. Ada pengisian form dan lainnya yang sudah disediakan oleh program BIRU.

“Kalau ngawur, nanti biogasnya gak nyala, malah jadi monumen,” ujar Prapto dengan semangat.

Pasca pelatihan Prapto membangun satu unit di Desa Pandesari, yang memberinya kesan tersendiri. Saat itu musim hujan dan lokasinya sangat berair, apabila tanah digali satu meter saja, maka sudah keluar air. Alhasil, pada saat pembangunan yang seharusnya bisa selesai dalam waktu enam hari, akhirnya terulur menjadi 10 hari. Ia mengaku sempat stress karena tenaga dan pikiran lebih banyak digunakan untuk membuang air di lokasi galian.

Sampai dengan Februari tahun 2015, Prapto sudah membangun 124 unit reaktor BIRU, semuanya dicatat di buku tulisnya, termasuk keluhan atau masalah yang pernah dialami pengguna biogas dan perbaikan yang sudah dilakukannya. “Itu bagian dari tanggung jawab tukang atas reaktor yang sudah dibangunnya,” ujar Prapto sambil tertawa.

“Jadi tanggung jawab tukang?,“ pancing tim BIRU.

“Di BIRU khan ada garansi tiga tahun untuk setiap reaktor dan yang memberikan garansi itu adalah koperasi. Tetapi, tukang juga yang mengerjakan perbaikan jika ada masalah. Makanya saya selalu ingatkan teman-teman tukang agar kerja sesuai standar BIRU sebab kita juga yang harus ‘menanggung’ garansi tiga tahun itu. Jadi, garansi itu sama dengan tanggung jawab tukang khan, mas,” Papar Prapto  diiringi gelak tawa.

Prapto punya kebiasaan, yaitu pada saat pengisian pertama reaktor oleh pengguna biogas, Prapto akan mengajari cara pengisian yang benar, cara pengoperasian dan perawatan singkat. Kemudian ia menuliskan nomor telponnya di manometer yang dipasang di dapur dekat kompor, agar mudah dilihat oleh si pengguna apabila ada masalah dan bisa langsung menghubunginya. Menurutnya, si pengguna harus diberi penjelasan singkat sebab biogasnya akan segera mereka pakai tiap hari, segera setelah menyala.  Jika menunggu penjelasan pada saat pelatihan untuk pengguna, mereka masih harus menunggu 3 bulan kemudian.

Selama lima tahun menjadi tukang biogas, ia telah mengalami banyak suka dan duka. Prapto merasa karena pekerjaannya membangun biogas itulah ia bisa menambah teman dan saudara. Bahkan nama Prapto dikenal banyak orang di Pujon, karena profesinya sebagai tukang biogas.

Pengalaman buruk selama menjadi tukang biogas pernah ditemuinya ketika harus membangun biogas untuk Pak Rokhim, salah satu anggota koperasi.

“Biogasnya gak mau nyala, dia telpon saya sambil marah-marah. Saya datangi dan disambut dengan omelan, yang kurang lebih mengatakan bahwa ia rugi membeli biogas karena ternyata gasnya sedikit sekali,” terang Prapto sambil mengingat kejadian tersebut.

Ternyata, hal itu disebabkan karena reaktor biogas diisi terlalu banyak air. “Lalu saya memberi tahu cara pengisian yang benar, tetapi tetap saja terulang terus. Saya kemudian menemukan akal, saya ajak Pak Rokhim untuk melihat reaktor biogas milik tetangganya yang tidak bermasalah. Tetangganya itu menjelaskan tentang pentingnya pengisian yang benar, dan penjelasan itu akhirnya diterima oleh Pak Rokhim. Setelah itu, biogasnya tidak pernah bermasalah lagi,” jelas Prapto.

Selama ini menurut Prapto, keluhan atau masalah yang sering dihadapi adalah pengisian yang tidak tepat, posisi water drain yang dipasang tidak tepat oleh tukang, pipa bocor, dan kompor modifikasi yang bocor di bagian saluran udara.

Prapto sendiri sangat terkenal di kalangan peternak pemilik biogas di wilayah Pujon, karena ia tidak segan-segan untuk segera datang apabila ada telpon dari pengguna biogas. Prapto mengakui awalnya ia memang hanya mendatangi pengguna biogas yang ia bangun, tetapi lama-kelamaan pengguna lain yang biogasnya dibangun tukang lain pun menelponnya jika ada keluhan. Menurutnya, si pengguna pasti akan menelpon tukang apabila terjadi masalah pada reaktor, jika tidak segera merespon user pasti akan menelepon koperasi, kemudian koperasi akan meminta tukang yang bersangkutan. Jika tukang tersebut tidak segera merespon, koperasi akan mencari tukang lain yang bersedia untuk membereskan masalah biogas, dan Prapto-lah yang biasanya ditelepon oleh pihak koperasi.

“Awalnya merasa gak enak, dulu saya selalu menelpon tukang yang bersangkutan untuk minta ‘ijin’. Sekarang saya langsung datang ke rumah pengguna biogas begitu mendapat telepon.”

Hal yang paling ditakutkan Prapto adalah kena omelan dari para pengguna biogas, hal itu dapat membuat tidur Prapto tidak nyenyak. Maka, meskipun sedang repot mengerjakan reaktor baru, Prapto akan meninggalkan pekerjaannya sebentar untuk menyelesaikan masalah pengguna biogas lainnya. Bahkan Prapto pernah melakukan pemompaan saluran gas karena sudah penuh dengan air, agar reaktor dapat segera berfungsi. Ia akan memperbaiki masalah pipa dan water drain tersebut sampai selesai. Jika ada telpon dari pengguna pada malam hari pun tetap ia beri respon dan datangi, asal sebelum jam 12 malam.

“Anggap saja dolan sekalian silaturahmi… ,“ seloroh Prapto.

Ada pengalaman lain yang dianggapnya berkesan juga. Seorang pengguna biogas yang ia tidak tahu namanya mengirimkan SMS untuknya. Pada jam satu malam ia baru menghidupkan telpon genggamnya dan ternyata ada SMS yang sedari sore hari dikirimkan kepadanya. Prapto merasa bersalah.

Biogas saya tidak hidup-hidup karena digigit tikus, begitu tulisan dalam SMS tersebut.

Besok paginya ia datangi si pengguna tersebut, dan ternyata keluarga itu tidak sarapan pagi karena biogasnya tidak nyala. Prapto langsung minta maaf. Ia akhirnya menemukan sebab dari masalah tersebut, ternyata air di dalam manometer tersembur keluar dan gas pun menguap habis. Karena selang manometer panjang sampai ke wuwungan atau bubungan, Prapto naik ke atas dan ternyata ada selang yang digigit tikus.

“Rupanya si pengguna itu menganggap gasnya habis karena selang digigit tikus. Hahaha… .” cerita Prapto dengan tertawa lebar.

Prapto lebih memilih menjadi tukang biogas daripada tukang bangunan. Baginya, menjadi tukang biogas lebih menarik karena dekat dengan rumah, upah tukang juga lebih tinggi dan ia merasa sudah cocok dengan pekerjaan tersebut. Penghasilan per bulan antara 2-4 juta rupiah tergantung banyaknya permintaan biogas di Pujon.

Suyoko, Supervisor Biogas Koperasi SAE Pujon memberikan konfirmasi bahwa Prapto adalah salah satu tukang biogas favorit di kalangan peternak koperasi Pujon. Banyak calon pengguna biogas yang meminta Prapto untuk mengerjakan biogasnya. Menurut Suyoko, hanya tukang yang kerjanya baik dan pandai mencari calon pengguna biogaslah yang akan diminati.

Asep Mukhlas, Quality Inspector Program BIRU Jawa Timur juga memberikan konfirmasi atas reaktor hasil kerja Prapto. Hanya ada dua macam kesalahan yang pernah dilakukan oleh Prapto, yaitu salah ukuran overflow dan posisi mixer yang miring.

“Itupun hanya ada tiga kasus dan hanya terjadi di awal saja, setelah itu jarang melakukan kesalahan konstruksi,” papar Asep.

Prapto sendiri tetap ingin terus berkarir sebagai tukang biogas, kalau memang bisa ia ingin membangun biogas hingga keluar Pulau Jawa.

Koperasi SAE Pujon merupakan salah satu koperasi susu terbesar di Jawa Timur, terbesar dalam jumlah anggota aktif, populasi ternak dan produksi susu segar. Sejak bulan Maret 2010 telah bermitra dengan Program BIRU dan menjadi salah satu mitra pembangun biogas yang produktif. Hingga kini Koperasi SAE Pujon telah membangun 1.189 unit reaktor BIRU. Nurkayin, penanggung jawab biogas Koperasi SAE Pujon menyatakan bahwa pihaknya menginginkan semua anggota peternaknya dapat memanfaatkan reaktor BIRU. Pihaknya setuju bahwa biogas adalah salah satu cara mengatasi limbah peternakan dan meningkatkan kualitas hidup peternak. (HBN/Mlg)

29 Juni 2016