Membangun Desa dengan Energi Ramah Lingkungan

“Impian saya sudah tercapai 80%,” ucap Suwaji tanpa bisa menutupi binar kegembiraan di matanya. Pria yang kesehariannya gemar memakai celana pendek ini sudah menjadi Manajer Koperasi Usaha Bersama (KUB) Sami Mandiri sejak berdiri hingga sekarang. Suwaji adalah perintis, pendiri, dan sekaligus pelaksana koperasi ini. Anggota koperasi telah mencapai 600 orang yang tersebar di Kecamatan Kasembon, 350 diantaranya adalah peternak sapi perah dengan kemampuan memproduksi susu sekitar 7,5 ton per hari. Persediaan pakan ternak juga aman selama 2 bulan yang nilainya setara dengan 1,2 milyar rupiah.

Produksi susu 7,5 ton per hari tersebut adalah hasil perjuangan Suwaji selama separuh hidupnya. Suwaji, juga akrab dipanggil Mali, meneropong balik kembali hidupnya selama 60 tahun.

Lahir dan dibesarkan di Dusun Dodol, Desa Wonoagung yang berada di kawasan hutan di wilayah Kecamatan Kasembon, Malang bagian barat, Mali kecil tumbuh dengan menyaksikan keterbatasan ekonomi masyarakat dusunnya. Akses jalan yang minim dan semakin parah di kala musim hujan serta rumah-rumah masih berdindingkan anyaman bambu dan beratapkan anyaman ilalang. Makan nasi bercampur umbi-umbian adalah hal yang jamak, dikarenakan padi hanya bisa ditanam satu kali dalam setahun, itupun jenis padi yang baru bisa dipanen setelah enam bulan. Masyarakat pun mengandalkan sumber kayu bakar dari hutan sekitar. Keprihatinannya  melahirkan tekad dan keinginan meningkatkan taraf hidup dan perekonomian masyarakat di dusunnya.

Dusun Dodol berjarak sekitar dua kilometer dari jalan propinsi Malang-Kediri, dibutuhkan perjalanan 20 menit untuk mencapai Dusun Dodol dari jalan propinsi tersebut. Melewati jalan berkelok-kelok dan menanjak, mata akan dimanjakan dengan pohon-pohon hijau yang rimbun. Agak dekat dengan jalan adalah perkebunan durian dan pete. Disambung dengan hutan Perhutani dan lebih jauh lagi hutan alam.

Mali sempat lama beraktifitas di pertanian dan jasa pengangkutan hasil panen  untuk memenuhi kebutuhan dapur keluarganya. Seperti pada umumnya petani tradisional Jawa, selain bertani, Mali juga memelihara beberapa ekor sapi potong. Namun pada tahun 1986, Mali tertarik memelihara sapi perah. Walaupun hanya satu ekor, tetapi sudah cukup membuat Mali berpikir tentang kelebihan beternak sapi perah dibandingkan sapi potong. Sapi perah bisa memberikan penghasilan harian dibandingkan sapi potong yang baru bisa dirasakan hasilnya setelah satu atau dua tahun.

“Mungkin inilah yang bisa menjadi jalan untuk mengangkat perekonomian masyarakat”, pikir Mali.

Ketika itu, sudah ada beberapa peternak sapi perah yang padamulanya menyetor ke KUD Kasembon beralih ke KUD Kertajaya. Mereka, kata Mali menceritakan kembali, memilih setor ke Koperasi Kertajaya karena  harga susu yang ditawarkan lebih tinggi dari KUD Kasembon yang lebih dekat. Saat ituada 14 peternak di dusunnya yang menyetorkan susu hasil perahan ke Koperasi Kertajaya, Kandangan, sekitar 5-6 km dari dusun mereka. Para peternak menyetorkan dalam wadah yang mereka pikul.

Bisa dibayangkan beratnya medan yang harus ditempuh. Untuk kondisi jalan sekarang yang sudah bagus, jarak itu ditempuh mobil dalam waktu sekitar 30 menit. Mali terpanggil untuk membantu pengangkutan susu ke Koperasi Kertajaya yang berada di kecamatan tetangga, tepatnya Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri.

“Apa yang di depan mata, maka itu yang dihadapi,” katanya ringan.

Walaupun masih buta tentang persusuan, Mali tergerak untuk terjun membantu. Mulailah setiap hari, pagi dan sore, dia rutin menyetorkan susu dengan kendaraan pick up yang biasanya digunakan untuk mengangkut hasil panen ke pasar. Mali tidak mau menarik angkut ongkos dari peternak, tetapi  justru mendapatkan upahberupa penggantian bensin dari Koperasi Kertajaya. Motivasi membantu tetangganya, menjadi dasar utama. Untuk menambah pengetahuan, Mali getol  belajar tentang persusuan. Pelatihan persusuan selama dua bulan pun pernah dilakoninya.

“Agar sama-sama tidak rugi,” sambung Mali.

Kenapa rugi?

Ternyata mekanisme penyetoran susu saat itu bahkan hingga sekarang, menempatkan penanggungjawab penampungan susu sebagai perantara antara peternak dan koperasi. Jika susu yang diangkut ke koperasi ditolak, maka penampung inilah yang menjadi pihak yang bertanggungjawab kepada peternak dalam pembayaran susu yang sudah ditampung. Ada potensi kerugian yang bisa terjadi, dan itu harus ditanggung oleh Mali, pelaku pengangkutan susu ke koperasi. Solusi yang dipilih oleh Mali adalah meningkatkan pengetahuan tentang susu

“Saya tidak mau mengecewakan orang,” kata Mali dengan ringan.

Bahkan demi memastikan kualitas susu, tak segan dibelinya alat penguji BD (Berat Jenis) susu.

Saat dirasa membutuhkan tambahan tenaga kerja dalam aktivitas pengangkutan susu peternak pun, Mali harus memutar otak untuk mengupah dua pekerjanya.  Bagi Mali tidak mungkin meminta uang ke peternak, karena pendapatan mereka sudah minim. Solusi yang bisa dilakukan adalah menyisihkan keuntungan usaha pertaniannya untuk menggaji dua pekerja tersebut.

Dari 14 peternak dengan produksi susu tujuh kwintal per hari yang rutin diterima saat itu, usaha persusuan perlahan berkembang di Dusun Dodol. Ada penambahan 26 peternak selama rentang waktu tiga tahun, maka kebutuhan adanya lembaga sendiri pun muncul.  Tahun 1999, terbentuklah KUB Sami Mandiri, tetapi masih harus melalui koperasi lain untuk menyetorkan susu ke PT. Nestle Indonesia.

“Kami baru menggunakan bendera  KUB Sami Mandiri pada tahun 2006, saat produksi susu sudah lebih dari empat ton per hari.”

Secara umum, hal ini bisa disebut sebagai  keberhasilan yang luar biasa untuk ukuran sebuah koperasi kecil di tengah hutan, bukan? Mungkin saja.

Mali memiliki prinsip sederhana dalam meneruskan kiprahnya untuk kepentingan masyarakat sekitarnya.

“Nyaman. Enak dipandang. Bisa dirasakan.”

Sebuah slogan sederhana dari seorang yang memiliki semangat yang besar.  Ketiga hal tersebut harapannya akan bermuara pada kehidupan masyarakat yang lebih baik, dari segi fisik, perekonomian, maupun lingkungan.

Bapak satu anak ini (meninggal beberapa tahun yang lalu), terus mengajak masyarakat melakukan peningkatan kualitas hidup. Salah satunya adalah permintaan pada masyarakat untuk tidak membuang kotoran ke sungai, mencari ikan di sungai dengan racun, dan berburu burung.

“Biar mata dan hati nyaman. Bisa mendengar kicauan burung serta melihat ikan berenang di sungai. Jarno kali kethok mili bening (biar sungai terlihat mengalir bening),” kata Mali dalam obrolan santai di rumahnya.

Biogas telah menjadi salah satu jawaban untuk keinginannya. Mali berharap dengan biogas, jumlah kotoran ternak yang masuk ke sungai berkurang.  Meski sebenarnya, teknologi biogas bukanlah sesuatu yang benar-benar baru bagi Mali. Dia ingat, saat kecil, ia pernah dengar ada yang bercerita bahwa orang Belanda bisa membuat api dari kotoran sapi. Mali pun penasaran.

Maka ketika ada informasi tentang program BIRU di pertengahan tahun 2010, Mali spontan menyampaikan keinginan menjadi salah satu partner, dan menempatkan program biogas sebagai pilihan utama bagi peternak anggota KUB Sami Mandiri. Bagi Mali, biogas membantu untuk penghematan bagi peternak. Hemat tenaga, hemat waktu, dan hemat uang. Sebelum memiliki biogas, masyarakat harus menyisihkan waktu 2-3 jam untuk mencari kayu bakar. Ditambah saat musim penghujan, kayu basah dan harus dikeringkan terlebih dahulu agar bisa digunakan untuk bahan bakar memasak. Dia juga menghitung jika menggunakan elpiji, uang pembelian elpiji selama tiga tahun sama dengan harga reaktor biogas 6 m3.

Seperti halnya dalam pengembangan usaha ternak sapi perah, Mali pun tidak segan untuk merogoh koceknya sendiri untuk pelaksanaan program biogas bagi anggota koperasinya. Sebab bagi dia, “Tidak ada pengorbanan maka tidak akan ada jalan.”

Untuk membangunkan biogas anggota KUB, Mali kerap menalangi terlebih dahulu.  Kini sekitar 210 anggotanya telah memiliki dan menikmati manfaat biogas. Selangkah demi selangkah keinginannya untuk meningkatkan kondisi lingkungan dan perekonomian masyarakat dusunnya terwujud.

Saat ini peternak bisa menikmati harga susu antara Rp. 4.800,- sampai Rp.5.200,- per liter. Rumah-rumah gedong (bertembok bata) bermunculan dan sepeda motor berseliweran. Dua hal yang tidak ditemui saat dia merintis usaha persusuan 30 tahun yang lalu.

“Saya senang, tetapi masih ada 20% lagi yang harus dicapai,” tekad Mali mengakhiri obrolan sore itu.(CHP-WS)

11 Mei 2016