Kemandirian Mati Suri

Kompas – Maman Rohiman (33), warga Cibodas, Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tidak lagi membeli gas atau berlangganan listrik negara sejak dua tahun lalu. Ketika harga terlampau mencekik, ia memilih mandiri energi menggunakan kotoran sapi perah peliharaannya. Namun, saat negara menaikkan harga bahan bakar minyak, semangat itu terancam dikorbankan.

Maman adalah satu dari sekitar 1.000 peternak sapi perah di kawasan Bandung Utara yang mencoba melepaskan ketergantungan energi dari negara. Setelah disimpan dalam reaktor biogas, kotoran sapi mampu menyalakan lampu dan menghasilkan api kompor gas biru.

Dalam dua tahun terakhir, tergabung dalam Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU), mereka membangun 368 reaktor yang tersebar di sejumlah desa di Kecamatan Lembang, di antaranya Desa Cibodas, Desa Sunten Jaya, dan Desa Cikahurip. Mayoritas masyarakat di sana menggantungkan hidup pada peternakan sapi perah. Adapun total peternak sapi perah di kawasan Bandung Utara sekitar 7.000 orang.

Sembari mengangkut kotoran dari empat sapi perah di kandang seluas 40 meter persegi, Maman mengatakan, dua tahun lalu ia harus menyisihkan Rp 100.000 per bulan untuk membeli gas dan listrik negara. Ia terpaksa membelinya meski penghasilan sebulan jauh dari cukup. Dalam sebulan, Maman hanya mendapatkan 60 liter susu per hari. Dengan harga jual susu Rp 3.500 per liter, ia hanya mendapatkan keuntungan Rp 300.000 per bulan. Cukup tidak cukup, hanya sebesar itu penghasilan yang ia dapatkan sebagai peternak sapi perah.

Hampir menjual sapinya, Maman tidak menolak saat KPSBU menawarkan program biogas untuk listrik dan gas pada awal tahun 2011. Biogas diklaim lebih murah dan aman karena bahan bakar utamanya diambil dari kotoran ternak sendiri.

Oleh KPSBU, Maman diberi pinjaman Rp 4,2 juta dan subsidi Rp 2 juta untuk membangun reaktor biogas ukuran 6 meter persegi di belakang rumah. Setiap 15 hari, ia wajib membayar Rp 50.000 yang dipotong dari setoran susu ke KPSBU. Menggunakan gas dari kotoran sapi, hidup lebih terang. Dengan 20 kilogram kotoran sapi per hari, ia bisa menghidupkan tiga lampu berkekuatan masing-masing 10 watt, televisi (50 watt), dan pemanas nasi (20 watt) secara bersamaan. Kotoran sapi dalam reaktor biogas itu juga bisa menyalakan kompor gas berapi biru seharian. Sekarang uang Rp 100.000 untuk membayar gas dan listrik negara bisa disimpan. Dalam setahun ia bisa menghemat Rp 1,2 juta.

Irit

Iyan Suryana (22), warga Kampung Pojok Girang, Desa Cikahuripan, Kecamatan Lembang, juga seperti kejatuhan jawaban tentang semakin sulitnya mendapatkan bahan bakar gas 3 kilogram. Tinggal di bawah Patahan Lembang berjarak sekitar 35 kilometer dari Kota Bandung, pasokan gas kerap kali tak menjangkau domisilinya.

Ia terpaksa memasak menggunakan kayu bakar selama dua minggu, pertengahan tahun lalu. Agen penjual gas mengatakan kiriman belum lagi datang. Namun, ketika saat yang dinanti tiba, gas 3 kilogram justru dibanderol selangit. Biasanya harganya hanya Rp 14.000 per tabung, kala itu naik menjadi Rp 20.000-Rp 25.000 per tabung. Tidak ada pilihan lain, Iyan terpaksa membelinya. Untuk memenuhi kebutuhan enam anggota keluarganya, ia membutuhkan sedikitnya empat tabung per bulan.

“Sekarang hal itu tidak saya alami. Saya stop beli gas negara. Gantinya ada biogas kotoran sapi yang tidak pernah langka dan lebih murah,” kata pemilik reaktor berukuran 8 meter persegi yang dibangun enam bulan lalu itu.

Penyelamatan

Empat sapi perah dewasa milik Entis Sutisna (22), warga Kampung Areng, Desa Cibodas, melenguh bersahutan saat jarum jam menunjukkan pukul 13.00. Sapi berwarna hitam gelap itu seperti berteriak meminta jatah makan siangnya. Dengan cekatan, Entis mulai mencampurkan konsentrat dan ampas tahu dalam satu adonan. Pakan penuh protein itu diberikan bersama rumput gajah yang diambil dari lahan kosong tak jauh dari kandang.

“Meningkatnya harga konsentrat dan ampas tahu ini yang saya takutkan bila ada kenaikan harga BBM, gas, atau tarif listrik,” katanya. Ia bukan asal omong. Dalam tujuh tahun terakhir, tiga kali kenaikan harga BBM ampuh memicu peningkatan harga pakan. Kini harga konsentrat mencapai Rp 100.000 per kilogram atau lebih tinggi sekitar 50 persen dibandingkan tujuh tahun lalu. Ampas tahu yang kini dijual Rp 28.000 per karung juga menunjukkan tren serupa.

Ketua KPSBU Dedi Setiadi berharap kenaikan harga BBM tidak mematikan harapan peternak sapi perah untuk tetap mandiri energi. Ia tidak ingin pengalaman banyak sapi perah dipotong untuk diambil dagingnya setahun lalu terjadi kembali.

“Banyak sapi dipotong untuk diambil dagingnya. Harganya jauh lebih tinggi ketimbang menjual susu. Harga satu sapi berkisar Rp 10 juta-Rp 11 juta per ekor. Akibatnya fatal. Dari 22.500 sapi perah, tinggal tersisa 17.500 ekor saja,” katanya. Agar tidak terulang, Dedi tengah menggagas ide meminimalkan kerugian peternak. Mulai Juni 2013, harga susu akan dibeli Rp 4.000-Rp 4.200 per liter. Bila bertahan pada harga Rp 3.500 per liter, ia khawatir banyak peternak kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Bila peternak tidak sejahtera, bisa dipastikan kemandirian itu terkikis,” ujarnya. (Cornelius Helmy)

(Sumber: Harian Kompas, 20 Juni 2013)

20 Juni 2013