Penerima Kalpataru dari Jawa Timur (1)

Warga Desa Wonosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, tak pernah menyangka bahwa kotoran sapi mereka bakal membawa berkah.Kotoran sapi itu ternyata bisa mengubah hidup mereka,bahkan menghasilkan penghargaan tertinggi di Indonesia di bidang lingkungan hidup, yaitu kalpataru.

Kotoran sapi atau biasa disebut warga sebagai tlethong awalnya dianggap sebagai limbah,sumber polusi yang cukup dimanfaatkan sebagai pupuk kandang.Namun sejak enam tahun lalu, paradigma ini secara perlahan mulai terkikis. Parapeternak sapi mulai mengenal teknologi sederhana dan murah untuk mengubah tlethong tersebut menjadi energi alternatif,yaitu biogas. Kini,biogas telah menggantikan minyak tanah dan gas elpiji di dapur rumah-rumah warga Desa Wonosari.

Biogas bahkan telah menggantikan sebagian peran listrik khususnya pada lampu penerangan dan pemanas air (water heater).Alhasil,penggunaan biogas ini mampu menghemat pengeluaran rumah tangga untuk gas elpiji dan listrik hingga lebih dari Rp350.000/bulan. Kesadaran warga ini tak lepas dari keberadaan Koperasi Peternak Sapi Perah (KPSP) Setia Kawan yang berperan memobilisasi peternak untuk memanfaatkan tlethongsebagai biogas.

Berkat ketekunan dan kegigihan para peternak itu pula,KPSP Setia Kawan akhirnya meraih penghargaan kalpataru dalam kategori kelompok penyelamat lingkungan yang diberikan Presiden RI Bambang Susilo Yudhoyono di Istana Negara pada Selasa 5 Mei 2012. KPSP Setia Kawan saat ini mengolah limbah kotoran sapi perah yang populasinya sekitar 17.765 ekor.Selama kurun waktu enam tahun, KPSP telah membangun 883 unit reaktor biogas yang dimanfaatkan 1.253 rumah tangga.

“Seekor sapi perah bisa menghasilkan kotoran kurang lebih 30 kilogram (kg)/hari,”kata Sekretaris KPSP Setia Kawan H Hariyanto,yang juga penanggung jawab program pengembangan biogas. Endang Trisulawati,salah satu warga Desa Gendro, Kecamatan Tutur mengaku bisa berhemat dengan menggunakan biogas.Untuk kebutuhan memasak,dia tak lagi mengandalkan energi gas elpiji yang kian hari kian langka dan mahal.

Dari biogas, dia juga bisa menghidupkan lampu penerangan rumah. “Yang tidak bisa dibeli adalah rasa aman dalam menggunakan energi biogas. Saya tidak pernah kawatir jika terjadi kebocoran gas.Biogas yang bocor tidak akan meledak seperti pada tabung elpiji,”kata Endang yang telah menggunakan biogas selama enam tahun. Endang punya lima ekor sapi perah.Jumlah ini mampu memenuhi bahan baku reaktor biogas berkapasitas 8 meter kubik yang bisa menyuplai kebutuhan dua rumah tangga.

Dengan modal membuat reaktor sebesar Rp7,5 juta,setara dengan pengeluaran untuk pembelian gas elpiji selama tiga tahun.”Ampas dari kotoran sapi yang telah digunakan untuk biogas ini juga bisa dimanfaatkan untuk pupuk organik,”kata Endang. Rintisan kampung biogas ini juga tak lepas dari peran serta Hivos (Institut Kemanusiaan untuk Kerjasama Pembangunan), sebuah lembaga nirlaba yang didanai Kedutaan Besar Kerajaan Belanda.

Hivos melalui program Biogas Rumah (Biru) telah meneken kerjasama dengan KPSP Setia Kawan sejak Oktober 2009. “Kami memberikan subsidi Rp2 juta untuk pembuatan reaktor biogas.Sementara KPSP Setia Kawan memberikan kredit bagi anggotanya untuk mencukupi kekurangannya,” kata Wasis Sasmito, koordinator Program Biru Jatim. Menurut dia,program Biogas Rumah adalah cara untuk mempopulerkan reaktor biogas sebagai sumber energi lokal berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.

Melalui program pengembangan ini diharapkan juga sebagai sektor usaha komersial berorientasi pasar. Hingga saat ini pembangunan reaktor biogas di Indonesia diperkirakan baru sekitar 10.000 unit.Padahal potensi sumber daya yang bisa dimanfaatkan bisa mencapai 1 juta unit reaktor biogas. Jumlah ini masih sangat jauh dibanding pengembangan reaktor biogas disejumlah negara berkembang,seperti Vietnam mencapai 25.000 unit,di Nepal yang mencapai 225.000 unit dan India mencapai 1,5 juta reaktor. Bahkan China telah memiliki 3 juta unit reaktor biogas untuk indutri modern. (bersambung)

ARIE YOENIANTO
Pasuruan

Sumber: www.seputar-indonesia.com

10 Juni 2012