Peternak Lembang Bebas Elpiji Berkat Biogas

ANTARA News – Selasa, 31 Januari 2012 13:02 WIB

Jakarta (ANTARA News) – Satu tabung elpiji 12 kg teronggok di sudut dapur Eti Rohaeti. “Saya biarin di situ, biar jadi kenang-kenangan zaman repot,” kata Eti (32) tersenyum sambil melirik suaminya, Hendra (35).

“Zaman repot” menurut warga Kampung Areng Desa Cibodas Lembang Kabupaten Bandung itu adalah ketika setiap kali elpiji habis, mereka harus repot mencari karena tidak semua toko atau warung selalu sedia tabung elpiji.

Kadang, mereka harus ke kota kecamatan yang jaraknya sekitar 30 menit menggunakan sepeda motor.”Kalau habisnya pas sore atau subuh, ya udah enggak masak dulu,” kata Eti.

Repot seperti itu kini tinggal kenangan bagi suami-istri tiga anak tersebut. Mereka punya pasokan sumber energi untuk dua kompor dan lampu pijar di dapur. Yang paling menyenangkan, sumber energi itu gratis.

Hendra (namanya hanya satu kata) dan Eti sudah beberapa bulan terakhir menggunakan biogas, bahan bakar yang dihasilkan dari kotoran tiga sapi mereka.

Pasangan peternak sapi perah itu terlebih dulu membangun bak penampungan sebesar 6 meter persegi (disebut reaktor) di belakang rumah.

“Apinya sama-sama biru,  gak kerasa beda dengan elpiji,” kata Eti.

Tetangga mereka sesama pemakai biogas, Pepen Supendi (34), bahkan mendapat manfaat tambahan berupa kompos hasil biogas yang disebut bio-slurry. Pepen punya enam sapi perah dan punya kebun hampir satu hektar yang ia tanami tomat dan cabai.

“Komposnya bagus, hasilnya panen nambah 40 persen,” kata Pepen yang setiap 90 hari memanen 6 ton tomat.

Memasyarakatkan biogas dari kotoran sapi bukan hal sulit untuk para peternak sapi di Lembang. Pepen mengaku dia langsung tertarik dengan biogas ketika pertama kali diperkenalkan ketua kelompok peternak mereka.

“Belum pernah tuh dengar ada yang menolak pakai biogas karena takut meledak atau jijik karena dari kotoran sapi. Kan memang bukan kotoran yang masuk rumah, tapi gas,” kata Pepen.

Di Lembang sudah ada 368 petani yang menggunakan biogas dan jumlahnya terus bertambah sejak program itu dimulai pada Juli 2010. Para pengguna biogas itu adalah sebagian dari anggota Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPBSU) yang punya sekitar 7.000 anggota.

Koperasi tersebut mengggandeng Rabobank Foundation untuk menyalurkan kredit ringan pembangunan instalasi biogas tersebut. Harganya tergantung ukuran reaktor, tapi paling banyak dipakai adalah reaktor 6 meter persegi yang memakan biaya Rp6,6 juta.

Peternak sapi perah cukup mencicil Rp70 ribu/pekan, bisa dipotong langsung dari susu yang mereka setorkan setiap pagi dan sore. Hendra yang memiliki tiga sapi, mengirim 25 liter susu ke koperasi setiap hari dengan harga rata-rata perliter Rp3.200.

“Kalau sudah lunas, ya gas di dapur asli gratis dan untuk seterusnya,” kata Hendra.

Lahan
Bahan baku untuk biogas yaitu kotoran ternak bisa dibilang berlimpah, tapi baru sedikit peternak sapi perah di Lembang yang menggunakan teknologi itu.

“Kendalanya lahan, karena peternak harus punya tempat untuk instalasi biogas itu. Sebagian hanya punya kandang saja, jadi belum bisa menggunakan biogas, padahal sudah berminat,” kata Hamdan Sobahi dari KPSBU.

Lahan yang diperlukan tergantung dari besarnya reaktor. Sebagian peternak membangun tangki reaktor ukuran 6 m2. Selain itu, masih perlu sedikit ruang terbuka untuk inlet kotoran sapi, dan penampung ampas biogas.

Pembangunan reaktor biogas juga tidak bisa dilakukan sembarang orang karena mereka harus bersertifikat program Biogas Rumah (Biru) yang dikelola Institut Humanis untuk Kerjasama Pembangunan (Hivos).

Hivos, yang didukung lembaga kerjasama pembangunan Belanda, memulai program biogas di Indonesia tahun 2009 dan akan berakhir penghujung 2012. Target mereka adalah mendirikan 8.000 biogas di tujuh provinsi khususnya di wilayah-wilayah peternak sapi perah, 1.000 di antaranya di Lembang Kabupaten Bandung.

Lembaga non-profit itu memberikan subsidi rata-rata Rp2 juta untuk tiap instalasi biogas. Di Lembang, para petani yang disubsidi itu juga mendapat bantuan pinjaman bunga lunak dari Rabobank Foundation sebesar 8%/ tahun untuk membangun instalasi antara lain reaktor jenis kubah (fixed dome) cor beton yang ditanam di bawah tanah.

Menurut Hamdan, hingga kini tidak satupun peternak yang menunggak pembayaran. “Ada 25 anggota koperasi yang ingin kredit biogas tapi terpaksa ditolak karena setelah disurvei, lahan mereka tidak cukup. 20 lainnya mengundurkan diri karena khawatir sulit membayar cicilan,” katanya.

Koperasi yang dikelola Hamdan kemudian mengajukan keringanan cicilan dari Rp150 ribu/bulan menjadi Rp100 ribu.

Ketika dimintai komentar, Manajer Proyek Rabobank Foundation Indonesia Bern Dwiyanto yang sedang mengunjungi KPSBU mengemukakan “pada prinsipnya kami setuju dan Februari ini mungkin sudah bisa dilaksanakan.”

Pihaknya juga memberikan pembiayaan serupa untuk biogas para peternak sapi perah Pangalengan  Kabupaten Bandung, Tandangsari Sumedang, dan di Garut Selatan dengan anggaran Rp12 miliar.

Harga Rendah
Para peternak tidak punya hambatan dalam menerima teknologi biogas, terlebih lagi tersedia subsidi dan keringanan biaya.

Tantangan terberat dalam memasyarakatkan biogas secara luas adalah harga susu yang masih rendah sehingga belum banyak orang tertarik untuk menjadi peternak sapi perah.

“Harga susu memang belum menarik,” kata Hamdan. Dia mengingat-ingat, dahulu satu liter susu setara dengan dua liter beras. “Sekarang, seliter susu belum tentu dapat setengah liter beras,” katanya.

Dia mengaku heran karena harga daging sapi terus menerus naik sedangkan harga susu sapi susah sekali beranjak.

Hamdan juga mengemukakan jumlah anggota KPSBU tetap berkisar 7.000-an anggota. “Selalu ada anggota baru tapi ada beberapa anggota yang berhenti jadi peternak dan memilih usaha lain, mungkin ada juga yang jual sapinya lalu usaha ojek,” katanya.

Dia mengemukakan, harga susu di Indonesia bahkan terendah di ASEAN. Dia mencontohkan Malaysia yang harga susunya sekitar Rp5.200/ liter.

Harga susu yang masih rendah tersebut menurut dia membuat peternak sulit mengembangkan usaha mereka.

Data Departemen Pertanian pada tahun 2011 menyebutkan bahwa tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia hanya 11,09 liter per kapita per tahun sedangkan Malaysia dan Filipina yang mencapai 22,1 liter per kapita per tahun, Thailand 33,7 liter per kapita per tahun, Vietnam 12,1 liter per kapita per tahun dan India mencapai 42, 08 liter per kapita per tahun.

Menurut data tersebut pasokan susu nasional hanya mampu mencukupi 30 persen dan sisanya impor.

Beberapa waktu lalu, Dewan Persusuan Nasional (DPN) meminta pemerintah meninjau kembali batas bawah harga susu segar di tingkat peternak karena harga di pasar internasional yang sudah lebih dari Rp 4.000/liter.

Hamdan menginginkan agar pemerintah turun tangan membantu peternak sehingga mereka bergairah dalam melanjutkan usaha.

“Coba kalau semakin banyak peternak, tentu biogas juga semakin banyak yang menggunakan, artinya makin banyak orang punya sumber energi sendiri,” katanya.

Hamdan membayangkan jika harga susu di peternak menggairahkan usaha, dia optimistis, seluruh anggota koperasinya yang berjumlah 7.000-an orang masing-masing punya unit biogas di rumahnya.
(A038)

Editor: Aditia Maruli

Sumber: www.antaranews.com

31 Januari 2012