Takut Gas Elpiji? Pakailah Biogas

TEMPO Interaktif, MALANG - Di dapur sebuah rumah di Desa Slamparejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, tabung elpiji ukuran 3 kilogram dan 12 kilogram teronggok di dekat kompor gas. Dengan posisi terbalik, dua tabung gas itu dipenuhi debu. Penampangnya tertutup oleh jaring laba-laba.

Di dapur itu pula, si empunya rumah, Nyonya Suwasti sedang menjerang air. Juga di atas kompor gas. Nyala api di tungku berwarna biru. Menyembur dari seluruh lubang tungku. Bau kotoran sapi tercium dari gas yang hendak terbakar.

Gas yang dipakai Suwasti bukan elpiji. Gas itu adalah biogas dari kotoran sapi. “Lebih aman memakai biogas daripada elpiji,” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu (8/7).

Biogas adalah hasil fermentasi bahan-bahan organik, seperti kotoran manusia dan hewan dan limbah rumah tangga. Kandungan utama dalam biogas adalah metana dan karbon dioksida. Karena tekanan gas metananya cukup rendah, biogas tak mudah meledak.

Selain aman, menggunakan biogas ternyata juga mengurangi pengeluaran dapur. Nyonya Suwasti kini tak perlu lagi membeli elpiji untuk keperluan memasak. Sebelum memakai biogas, ia harus mengeluarkan uang Rp 13 ribu setiap lima hari sekali untuk membeli elpiji ukuran 3 kilogram.

Nyonya Suwasti menggunakan biogas sejak enam bulan lalu setelah bertahun-tahun menggunakan minyak tanah dan kayu bakar. Setelah program konversi minyak tanah ke elpiji masuk ke desanya, ia beralih menggunakan elpiji ukuran 3 kilogram.

Di Kecamatan Jabung, tak hanya Nyonya Suwasti yang menggunakan biogas. Lebih dari 200 kepala keluarga menggunakannya, baik untuk keperluan memasak maupun untuk penerangan. Maklumlah, kecamatan yang terletak sekitar 20 kilometer dari arah timur Kota Malang menjadi salah satu sentra peternak sapi perah.

Data Koperasi Agro Niaga (KAN) Jabung mencatat jumlah sapi perah di Kecamatan Jabung 6.200 ekor milik 1.307 anggota koperasi yang berbasis sapi perah. Jumlah ini belum termasuk milik petani yang tak menjadi anggota koperasi.

Pengurus KAN Jabung memang menyarankan para anggota koperasi untuk membuat biogas. Saran ini diberikan agar petani mau menambah jumlah sapi perahnya. Sebelum ada biogas, petani enggan menambah jumlah sapi karena kesulitan membuang kotoran sapi.

Jumlah kotoran sapi yang dihasilkan memang cukup banyak. Seekor sapi indukan menghasilkan sekitar 20 kilogram kotoran setiap hari, sedangkan sapi anakan menghasilkan kotoran antara 10 hingga 15 kilogram setiap hari. Widodo, suami Nyonya Suwasti yang mempunyai empat ekor sapi indukan dan seekor sapi anakan, harus membuang sekitar 120 kilogram kotoran sapi setiap hari.

KAN Jabung mulai memrogramkan biogas untuk anggotanya tahun 2003 bekerja sama dengan Dinas Peternakan Kabupaten Malang. Program ini dilanjutkan dengan menggandeng Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2006. Namun, setelah enam tahun program berjalan, tak banyak anggota yang berminat, “karena pembuatan biogas cukup mahal dan anggota harus membiayai sendiri,” kata Ketua I KAN Jabung Wahyudi.

Program pembuatan biogas dijalankan lagi setelah KAN Jabung bekerjasama dengan Hivos (organisasi nirlaba asal Belanda) dan SNV (organisasi pembangunan Belanda), November 2009. Dalam kerjasama ini, Hivos dan SNV menyediakan model digester atau kontruksi reaktor biogas, serta mensubsidi petani.

Melalui program Biogas Rumah (Biru), Hivos menawarkan lima ukuran digester, yaitu 4 M3, 6 M3, 8 M3, 10 M3 dan 12 M3. Biaya pembuatan biogas ukuran 4 M3 sekitar Rp 5,7 juta, 6 M3 sekitar Rp 6,3 juta, dan 12 M3 sekitar Rp 8,8 juta. Subsidi yang diberikan kepada petani sebesar Rp 2 juta. Sisanya, petani membayar ke KAN dengan cara mencicil.

Wahyudi mengatakan meski biaya pembuatan digester cukup murah, ada subsidi, dan pembayaran bisa diangsur, peminat biogas masih sedikit. Namun, setelah banyak kejadian kompor elpiji meledak, peminat biogas meningkat drastis. Data KAN mencatat dalam kurun waktu dua bulan terakhir ada 61 anggota yang membuat biogas. “KAN menargetkan tahun ini ada 250 anggota yang memakai biogas.”

Potensi kotoran sapi untuk dijadikan biogas memang cukup besar di wilayah Malang. Juga di daerah-daerah lain di Jawa Timur. Data yang dihimpun Hivos mencatat untuk wilayah Kabupaten Malang saja tercatat ada 11.500 petani susu perah. Jika setiap petani rata-rata mempunyai tiga ekor sapi perah, maka potensi kotoran sapi yang bisa dipakai biogas sebanyak 172.500 ton per hari.

Besarnya potensi tersebut membuat Hivos dan SNV yang bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE) yakin akan keberhasilan Biogas Rumah (Biru). Untuk tahun ini saja di Kabupaten Malang, HIVOS dan SNV menargetkan sebanyak 1150 biogas. “Sampai akhir tahun 2012 ditargetkan ada 8 ribu unit biogas yang sudah terbangun,” kata Promo dan Public Relations Officer Program Biru Hivos Agi S. Cakradirana.

Tentu 8 ribu biogas ini tak hanya untuk di Kabupaten Malang. tetapi juga di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). “Selain untuk kepentingan lingkungan dan ekonomi, juga untuk kepentingan keselamatan jiwa. Biogas kan lebih aman,” ujarnya. (*Bibin Bintariadi)

13 Juli 2010