Mewujudkan Pembangunan Partisipatoris melalui Inklusivitas Gender dalam Pengelolaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT)

Dikutip dari publikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2016, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan sumber daya alam yang melimpah ruah serta dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi keberlangsungan hidup. Potensi alam tersebut dapat dikembangkan menjadi sumber energi baru dan terbarukan (EBT) untuk memenuhi kebutuhan energi nasional di seluruh wilayah Indonesia. Apabila ditinjau secara teknis, potensi pengembangan sumber EBT Indonesia terdiri energi bayu (angin) sebesar 950 Megawatt, tenaga surya sebesar 11 Gigawatt, tenaga air sebesar 75 Gigawatt, energi biomasa sebesar 32 Megawatt, biofuel sebesar 32 Megawatt, potensi energi laut sebesar 60 Gigawatt, dan panas bumi (geothermal) yang diperkirakan memiliki potensi sebesar 29 Gigawatt (Kementerian ESDM, 2016). Pengembangan sumber EBT merupakan hal yang sangat krusial dan menjadi isu mutakhir yang dihadapi oleh Indonesia saat ini. Pasalnya, energi fosil yang selama ini digunakan pasokannya semakin menipis sehingga kemungkinan terjadinya krisis energi nasional tidak dapat dielakkan.

Krisis energi nasional semakin diperparah karena Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap minyak sebagai satu-satunya sumber energi dan permasalahan subsidi pemerintah terhadap minyak (Hartono dan Resosudarmo, 2008). Pernyataan tersebut sesuai juga didukung dengan catatan Kementerian ESDM tahun 2016 lalu yang menyatakan bahwa bauran pemanfaatan sumber energi per 2015 masih dikuasai oleh energi fosil. Jika dilihat secara nasional; sumber energi dari minyak bumi masih menjadi tumpuan utama masyarakat Indonesia dengan persentase sebesar 47 persen, disusul batu bara dan gas bumi masing-masing sebesar 24 persen, dan 5 persen sisanya berasal dari pemanfaatan EBT. Berbagai dampak yang muncul dari krisis energi ini menimbulkan resiko dalam berbagai level, baik level makro/pemerintahan hingga level komunitas masyarakat. Krisis energi dapat menggoncang stabilitas kondisi APBN, di sisi lain krisis ini juga meningkatkan potensi kesenjangan sosial di masyarakat dalam kaitannya dengan akses terhadap sumber energi.

Masyarakat desa (terutama kalangan perempuan) dengan keterbatasan kondisi sosial, ekonomi, dan geografis merupakan salah satu kelompok yang rentan karena minimnya kemampuan mereka mengakses sumber energi. Berkaitan dengan hal tersebut, GACC tahun 2011 menyatakan bahwa sekitar 82% penduduk pedesaan masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak utama mereka dan hamper 100 juta orang mengandalkan tungku tradisional. Lebih lanjut, tahun 2015 lalu Institute for Essential Service Reform (IESR) juga memaparkan bahwa kemiskinan energi ini sangat memengaruhi masyarakat di daerah terpencil, khususnya perempuan, karena mereka memiliki tanggung jawab utama dalam kegiatan rumah tangga seperti memasak, membersihkan, menyediakan air, dan merawat anak-anak. Di balik kondisi rentan karena ketimpangan tugas dan peran domestik yang dialaminya, perempuan dalam konteks ini juga dipandang sebagai agen yang tepat untuk meningkatkan kondisi kesejahteraan keluarga melalui pemberian akses terhadap energi tebarukan dan upaya-upaya pemberdayaan bagi mereka.

Sehubungan dengan hal tersebut, inisiatif Sustainable Energy for All (SE4ALL) dilakukan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil (NGO/CSO) melalui perumusan sejumlah strategi yang dapat mendorong masuknya agenda-agenda kelompok masyarakat sipil dalam rencana implementasi SE4ALL, termasuk perspektif gender dan pemberdayaan ekonomi perempuan melalui akses energi (IESR, 2015). Sebagai salah satu NGO yang bergerak dan membesarkan sektor EBT di Indonesia, Rumah Energi menjadi salah satu aktor vital pengimplementasian SE4ALL yang berusaha meningkatkan akses energi bagi perempuan melalui program Program Biogas Rumah (BIRU) atau Indonesia Domestic Biogas Program (IDBP). Maksud dilaksanakannya program ini sendiri yaitu ditujukan untuk memperbaiki kondisi kehidupan keluarga di sepuluh provinsi di Indonesia melalui berbagai keuntungan yang didapat dari pembangunan reaktor BIRU. Pelibatan isu gender dalam pengembangan EBT dapat meningkatkan derajat perempuan melalui pemberdayaan sosial ekonomi, membantu meringankan tugas rumah tangga mereka, mendorong keseimbangan peran gender dalam keluarga, serta mendorong peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat secara umum.

Selain itu, pembangunan dan pengelolaan sektor EBT yang melibatkan isu gender di dalamnya dapat menjadi refleksi atas praktik pembangunan partisipatoris di masyarakat.  Pembangunan jenis ini terlaksana dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat sebagai subjek sekaligus objek dari pembangunan itu sendiri. Dalam pembangunan ini, aspirasi dan pendapat-pendapat masyarakat menjadi beberapa komponen penting. Melalui Program BIRU, Rumah Energi berupaya mendorong pembentukan kondisi yang lebih baik bagi kehidupan masyarakat, terutama dengan memberikan perhatian khusus pada kondisi perempuan dalam pengelolaan teknologi biogas sebagai salah satu wujud EBT. Selain itu, Gender Action Learning System (GALS) merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Rumah Energi sebagai bentuk komitmennya dalam melibatkan isu gender dalam mengelola sumber energi alternatif. GALS ini berusaha menarik partisipasi perempuan dalam penggunaan reaktor BIRU untuk peningkatan resiliensi keluarga terhadap energi dan memperbaiki kondisi sosial-ekonominya.

Selain mengurangi beban pengeluaran keluarga untuk membeli bahan bakar minyak dan meminimalkan resiko ketika mencari kayu bakar, penggunaan biogas secara signifikan berdampak terhadap perbaikan kondisi kehidupan sehari-hari perempuan dan keluarganya. Nilai tambah reaktor BIRU lainnya yaitu ampas biogas (bio-slurry) dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang sangat baik untuk mengembalikan kesuburan tanah, meningkatkan produktivitas tanaman, dan sumber perekonomian tambahan. Pada akhirnya, inisiatif partisipasi gender yang senantiasa berlangsung di masyarakat ini juga dapat membantu pencapaian tujuan-tujuan SE4ALL (membuka akses energi bagi semua orang tanpa terkecuali) dan SDGS (inklusivitas dan kesetaraan gender dalam pengelolaan EBT). (Supriadi)

Referensi

Hartono, D. dan Resosudarmo, B.P. (2008). The Economy-Wide Impact of Controlling Energy Consumption in Indonesia: An Analysis Using a Social Accounting Matrix Formation. Energy Policy, Vol.36, pp.1404—1419.

IESR. (2015). Pertemuan NGO/CSO Indonesia untuk Mendorong Implementasi Sustainable Energy for All (SE4ALL). Laporan workshop pada 9 Agustus 2015 di Bumbu Desa Cikini, Jakarta.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). (2016). Mengarusutamakan EBT Sebagai Energi Masa Depan. Jurnal Energi, Edisi 02, hal.9—11.

31 Oktober 2017