Schwäbischer tagblatt - Energi terbarukan. Florianus Josopandojo, mahasiswa dari Rottenburg, ingin “sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui” melalui instalasi Biogas Mikro untuk negerinya Indonesia. Oleh Thomas Schumacher.


Florianus Josopandojo telah berbuat banyak untuk masa depannya. “Saya ingin bekerja sebagai insinyur biogas terutama di arena internasional khususnya di Jerman dan Indonesia,” ujar insinyur muda yang penuh cita-cita itu. Namun, juga bisa merambah Asia, Amerika, atau Afrika yang terhitung masih sesuai untuk orang Indonesia. Josopandojo datang ke Jerman pada tahun 2012 saat ia baru berusia 20 tahun untuk belajar tentang energi terbarukan. Setelah kursus bahasa selama tiga bulan di Heidelberg dan program satu tahun untuk persiapan belajar di Nordhausen (Thuringia), ia mendaftar di Universitas Kehutanan Rottenburg, yang menawarkan mata kuliah tentang energi terbarukan.


Flora, Fauna, dan Nelayan yang merasakan dampak buruk


Sebagai bagian dari skripsi untuk meraih gelar sarjananya, terhitung mulai Agustus 2016 Josopandojo fokus pada permasalahan yang terjadi di Indonesia, yaitu persoalan tanaman air eceng gondok, yang sering ditemui di negara-negara tropis terutama di danau-danau air tawar. Tanaman ini dapat tumbuh dengan cepat dan menutupi seluruh permukaan danau dalam waktu singkat. Kemudian eceng gondok menutupi flora dan fauna yang ada di danau dari paparan sinar matahari dan menghambat terbentuknya oksigen di bawah permukaan air. Hal ini menyebabkan matinya ikan dan kerugian finansial bagi nelayan lokal.


Melalui proyeknya, Josopandojo ingin “sekali dayung dua tiga pulau terlampaui”, yaitu untuk membersihkan danau dari eceng gondok sekaligus menghasilkan energi hijau. Meskipun gagasan mengubah tanaman yang mengganggu ini menjadi biogas bukanlah sesuatu yang baru – organisasi “Rumah Energi” dari Indonesia telah membangun instalasi biogas yang dibangun di Danau Rawa Pening di pulau Jawa. Namun, sebelum kegiatan yang dilakukan Josopandojo, mereka tidak mengetahui tentang potensi energi dari eceng gondok. Yang kurang adalah alat pengukurnya, ujar mahasiswa berusia 25 tahun itu.


Josopandojo bekerja sebagai manajer proyek dengan Profesor Jen Poetsch (pengawas proyek) dan bersama rekan sesama mahasiswa, Johannes Unger,di bawah proyek yang bernama “realisasi instalasi biogas mikro eceng gondok di Jawa Tengah, Indonesia” untuk mendorong penelitian. Unger menjadi ketua kelompok regional “Teknologi Tanpa Batas” di Rottenburg; organisasi yang mendukung proyek Josopandojo dari segi pendanaan dan hal lainnya. Mitra kerja sama dari Indonesia “Rumah Energi” mengerahkan para pekerja lokal untuk membangun fasilitas biogas mikro di Indonesia.


Memasak dengan gas yang dihasilkan dari tanaman air


Selama fase penelitian di laboratorium dari bulan November 2016 hingga Maret 2017, Josopandojo menyelidiki potensi biogas dari eceng gondok serta peluang untuk mengoptimalkan instalasi biogas mikro. Salah satu hasilnya adalah 11,3 liter biogas dapat dihasilkan dari satu kilogram eceng gondok segar yang digiling. Hasil lainnya adalah merebus satu liter air, diperlukan 387 liter biogas, yang artinya membutuhkan 30 kilogram tanaman eceng gondok segar.


Pada bulan April dan Mei 2017, dua fasilitas biogas mikro dengan kapasitas delapan dan sepuluh meter kubik, masing-masing berkapasitas 8.000 dan 10.000 liter. “Sejauh ini,” ujar Josopandojo, “tiga keluarga telah merasakan manfaatnya. Sekarang mereka memasak dengan menggunakan biogas, bebas biasa dan bebas emisi. “ Jaringan pipa gas dapat dipasang, sehingga dua keluarga lagi segera dapat terhubung dengan biogas.


Di masa yang akan datang, tanaman ini dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik, ujarnya. Namun, kebutuhan saat ini adalah bagaimana cara mendapatkan kompor gas yang ramah lingkungan dan berbiaya rendah.


Florianus Josopandojo ingin mengembangkan proyeknya bahkan setelah ia mendapatkan gelar sarjananya dan membangun lebih banyak lagi fasilitas biogas. Selain itu, ia ingin melanjutkan studi dan gelar magisternya di Jerman. Bersama-sama dengan organisasi “Rumah Energi,” yang telah menjalin kontak dengan Kementrian Energi Indonesia, ia ingin menginformasikan kepada pemerintah Indonesia tentang cara untuk menghasilkan energi baru dan pada saat yang sama menjajaki proyek-proyek di masa depan. Di masa depan, ia berharap bisa menerima pembiayaan yang memadai.


Mencacah dan kemudian fermentasi – sisanya dapat digunakan sebagai pupuk


Pertama-tama, eceng gondok dicacah dengan ukuran dua hingga tiga sentimeter. Setelah itu tanaman ini difermentasikan selama 40 hingga 50 hari pada suhu 28 deraja Celsius dengan kotoran sapi dalam reaktor biogas. Proses ini menghasilkan biogas. Substrat tetap ada setelah proses ini dan dapat digunakan sebagai pupuk.


Biaya fasilitas biogas tergantung pada ukurannya. Sebuah reaktor biogas berkapasitas delapan meter kubik pembangunannya membutuhkan dana 900 euro; sedangkan reaktor biogas berkapasitas 10 meter kubik membutuhkan biaya sekitar 1.100 euro.


Untuk mereka yang tidak mampu untuk membangun instalasi biogas ini, investasi ini dapat dilunasi melalui beberapa kali pembayaran cicilan. Selain itu, Kementrian Energi Indonesia juga menyediakan subsidi pemerintah. Siapapun yang menjual residu/ampas fermentasi sebagai pupuk nantinya akan dapat menutupi biaya-biaya yang timbul selama jangka panjang.

**Artikel dipublikasikan dalam Bahasa Jerman

(Sumber: http://www.tagblatt.de/Nachrichten/Von-der-Wasserhyazinthe-zum-Biogas-345993.html)