The Jakarta Post – Populasi yang semakin bertambah, meningkatnya kesejahteraan, menipisnya sumber-sumber daya alam, urbanisasi, dan dampak perubahan iklim mendorong kebutuhan akan adanya praktek-praktek pertanian berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pangan global. Berbagai aktivitas industri, meskipun penting bagi pertumbuhan suatu negara, membawa beragam dampak, seperti perubahan iklim yang saat ini kita hadapi. Pemanfaatan energi yang tidak efisien, manajeman limbah yang tidak tepat serta penggundulan hutan adalah di antara beberapa faktor yang menyebabkan efek rumah kaca, yang dipercaya sebagai penyebab pemanasan iklim global.
Untuk mengangkat isu-isu keberlanjutan yang mendesak ini, beberapa perusahaan telah mengadopsi berbagai praktek yang berkelanjutan dari segi lingkungan, sebagai contoh melalui minimalisasi impor bahan baku dan pendayagunaan energi yang bertanggung jawab.
Perusahaan makanan dan minuman raksasa yang berbasis di Switzerland, PT. Nestlé Indonesia adalah satu dari beberapa perusahaan yang telah menunjukkan komitmennya terhadap praktek-praktek bisnis berkelanjutan. Nestlé percaya agar perusahaan dapat tumbuh sejahtera, perusahaan memerlukan masyarakat di daerah di mana mereka beroperasi agar juga tumbuh sejahtera. Dalam jangka panjang, populasi yang sehat, ekonomi yang sehat, dan kinerja bisnis yang sehat akan saling memperkuat antara satu sama lain.
Nestlé percaya bahwa perusahaan dapat menciptakan nilai bagi para pemangku kepentingannya dan masyarakat dengan menjalankan bisnis melalui cara-cara yang secara spesifik membantu mengangkat berbagai permasalahan global dan lokal. Nestlé menyebutnya Creating Shared Value (CSV)/Menciptakan Nilai Bersama, dimana CSV mengidentfikasi berbagai peluang untuk mengaitkan beragam bisnis inti di sepanjang rantai nilai hingga berbagai aksi yang membantu untuk mengangkat berbagai isu-isu sosial. Beberapa contoh dari aktivitas-aktivitas ini mencakup efisiensi penggunaan air dalam proses manufaktur dan distribusi, menyediakan akses kepada air bersih untuk komunitas-komunitas tertentu dan mendukung pengembangan petani untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk.
Memberdayakan peternak susu perah lokal
Pada tahun 1971, Nestlé membangun pabrik pertamanya di Waru, Jawa Timur, dan mulai menyediakan bantuan teknis dan finansial kepada masyarakat sekitar, khususnya peternak sapi perah. Meningkatnya permintaan produksi susu mengharuskan Nestlé untuk memindahkan pabriknya ke daerah Kejayan di Pasuruan, Jawa Timur, di tahun 1988, dimana pabrik ini memproduksi beragam merk seperti DANCOW.
Untuk periode lebih dari 30 tahun, Nestlé telah memberikan dukungan kepada para peternak untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk. Bantuan teknis mencakup pelatihan dalam bidang manajemen peternakan, penggunaan air untuk air minum hewan, di samping juga pemeliharaan kebersihan kandang. Pada saat ini, ada total 35.000 peternak yang mendapatkan bantuan teknis dan finansial yang tersebar di berbagai kabupaten berbeda, seperti Malang, Pasuruan, Tulung Agung, Ponorogo, Lumajang, Probolinggo, Jember, Kediri, Blitar, Gresik, dan Banyuwangi.
Meminimalisir bahan baku impor
Industri peternakan susu perah di Indonesia menghadapi permasalah menyangkut terbatasnya pasokan susu dari para peternal lokal. Harga pakan hewan dan daging sapi yang senantiasa meningkat selama dua tahun belakangan adalah di antara faktor-faktor yang telah menyebabkan permasalahan dalam pasokan susu segar. Harga daging sapi yang menggiurkan dapat meningkatkan kemungkinan peternak menjual semua sapinya ketimbang terus memeliharanya sebagai sapi perah.
Terbatasnya pasokan susu segar telah memaksa perusahaan untuk mengimpor 75% dari semua kebutuhan susunya dari Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan negara-negara Eropa agar dapat mengamankan produksi. Untuk mengurangi ketergantungan pada bahan dasar impor, Nestlé telah berusaha untuk mencari alternatif untuk pakan ternak. Dalam lingkup Kelompok Kerja Peternakan Susu Perah untuk Kemitraan guna Keberlanjutan Pertanian Indonesia (PISAgro), perusahaan – dalam kemitraan antara pemerintah dan swasta – adalah bekerja untuk perbaikan makanan ternak dan memberikan informasi kepada para peternak susu perah tentang manfaat dari silase jagung sebagai pasokan alternatif untuk makanan ternak untuk meningkatkan produksi susu segar. Silase jagung adalah pakan hewan yang unggul karena mengandung banyak protein, energi, dan mudah dicerna. Sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2012, proyek ini telah meningkatkan kesehatan hewan, di samping juga produktivitas, rata-rata sebesar 25 persen.
Di samping itu, sebagai bagian dari pengamanan pasokan bahan baku lokal, Nestlé juga telah memberdayakan para peternak untuk memiliki sapinya sendiri, dimana rata-rata kami mengeluarkan biaya masing-masing sebesar Rp 25 juta (USD 2,058), dengan memberikan pinjaman kepada mereka melalui koperasi.
Metode pengolahan limbah
Dalam kemitraan bersama Yayasan Rumah Energi, (Humanist Institute for Development Cooperation – HIVOS), dan Biogas Rumah (BIRU), Nestlé memberikan bantuan kepada para peternak sapi perah untuk mengelola pupuk kandang yang dapat mencapai jumlah 1.300 ton per hari, dan mengkonversikannya ke dalam biogas. Melalui pendekatan ini, pupuk kandang tidak lagi dibuang dan menyebabkan polusi di sungai-sungai dan air tanah. Sebaliknya, pupuk kandang tersebut diproses untuk menjadi sumber energi terbarukan yang dapat didayagunakan untuk memasak dan penerangan.
“Ketika kita membakar kayu bakar untuk memasak dan merebus air, saya merasa sangat tidak nyaman oleh asap dan abu yang ditimbulkan dari proses pembakaran, “ Supyah, seorang istri petani, bercerita kepada The Jakarta Post di rumahnya. Asap dan abu dari kayu bakar berbahaya untuk kesehatan dan dapat menyebabkan iritasi mata, infeksi mata, batuk, dan permasalahan pernafasan. Ia menambahkan dengan menggunakan biogas telah menghilangkan pekerjaan rutin suaminya yang melelahkan untuk membawa batang kayu dari hutan terdekat menuju rumah mereka.
Program biogas terbukti telah membantu untuk melestarikan lingkungan, oleh karena gas ini telah menggantikan penggunaan kayu untuk energi, mengurangi polusi yang disebabkan oleh pupuk kandang dan mengurangi biaya pengadaan energi secara keseluruhan dan resiko kesehatan pada para peternak. Nestlé dan HIVOS pada saat ini telah memasang lebih dari 7.000 digester biogas dan berusaha untuk mencapai angka unit terpasang sebesar 20.000 unit menjelang 2017.
Di bawah program ini, tiga pihak yang bekerja bersama untuk membantu para petani dalam pengadaan peralatan, yang harganya mencapai sekitar Rp 7,8 juta per peralatan. Melalui koperasi peternak, Nestlé membantu para petani peternak dengan menyediakan pinjaman bebas bunga untuk 75 persen dari biaya konstruksi digester biogas, sementara sisa 25% biaya konstruksi diberikan oleh HIVOS dan pemerintah melalui skema hibah.
BIRU juga menyatakan bahwa proses biogas bebas dari kandungan karbon dan dengan demikian berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca global untuk kelestarian lingkungan yang lebih baik.
Pupuk organik
Residu/Ampas digester biogas, yang juga dikenal dengan sebutan bio-slurry, dapat diaplikasikan sebagai pupuk organik karena mengandung berbagai zat hara yang bernilai yang bermanfaat untuk mendorong produksi pertanian.
Selama kunjungan ke lahan pertanian milik perusahaan dekat Kejayan, Jawa Timur, The Jakarta Post mengamati bahwa tanah yang dipupuk dengan menggunakan pupuk organik lebih subur dibandingkan dengan tanah yang dipupuk dengan pupuk kimia. Selain itu berdampak pula pada produksi rumput yang lebih baik, karena rumput tumbuh lebih lebat dan panjang.
Nestlé berharap bahwa semua usaha yang dilakukan untuk mengembangkan praktek-praktek bisnis yang berkelanjutan dapat mendorong pihak lain untuk bekerja bersama-sama dan mengambil tindakan nyata untuk memastikan kelestarian lingkungan.