Oleh Eli Kumolosari
Gemerisik suara daun terdengar
berfrekuensi rendah pagi itu. Kaki tua yang menginjaknya terlihat lambat
sekali bergerak, bahkan sesekali berhenti untuk terengah. Mbah Parjo,
panggilan akrab lelaki tua ini, menjadikan kegiatan paginya ini
rutinitas sejak puluhan tahun yang lalu. Yah, terkadang alam sangat baik
dengan memberinya air dari langit yang bisa dia tampung di penampungan
air di depan rumah mungilnya, atau biasa disebut PAH (penampungan air
hujan). Itupun hanya akan bertahan satu bulan pertama musim kemarau
dengan penggunaan minimal. Lebih lagi ketika alam sedang memberinya
cobaan, ratusan, bahkan ribuan meter harus ditempuhnya dengan
menggendong sebuah jirigen besar berisi air dari sumber air Kaligede.
Tanah tempatnya berpijak selama puluhan tahun ini merupakan tanah karst
yang sulit menyimpan air. Kondisi ini juga terjadi hampir di seluruh
wilayah pegunungan di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu di Kabupaten
Gunungkidul dan sebagian wilayah Kabupaten Bantul yang berbatasan
langsung dengan Kabupaten Gunungkidul.
Kaligede menjadi
satu-satunya sumber pengharapam sebagian warga Dusun Banyumeneng I, Desa
Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul akan air ketika
kemarau tiba. Tetapi, sumber kehidupan ini berjarak sekitar 1400 m dari
pemukiman warga. Pada kenyataannya, ada juga PDAM di wilayah ini, namun
tidak seluruh warga mendapatkan jatah dikarenakan letak tempat
tinggalnya yang lebih tinggi dan lebih jauh dari yang lain. Beberapa
yang tidak mendapatkannya, yaitu sekitar 52 kepala keluarga yang
tersebar di 3 RT, harus bernasib sama seperti Mbah Parjo, menggendong
atau memikul air ratusan meter sekedar untuk minum keluarga dan
ternaknya. Untuk keperluan lain seperti mencuci, mereka akan datang
langsung ke sumber.
Hampir seluruh warga Dusun Banyumeneng I
menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, walaupun kebanyakan dari
mereka memiliki mata pencaharian lebih dari satu, seperti buruh
bangunan, pedagang, karyawan, dan lain-lain. Pada musim hujan, panen
terbesar didominasi padi, sedangkan pada musim kemarau seperti itu,
mereka menanam tanaman yang tidak membutuhkan banyak air, seperti
tembakau. Padi yang mereka panen di musim hujan harus mau bertahan
hingga panen berikutnya, atau jika tidak, mereka harus membeli dari
orang lain.
Melihat potensi yang ada di dusun ini, yaitu radiasi
sinar matahari tahunan rata-rata sebesar 4,8 kWh/m2/hari, beberapa
mahasiswa UGM berinisiatif untuk berpartisipasi pada ajang Mondialogo
Engineering Award 2007 untuk memberikan jalan keluar bagi para pejuang
pencari air di Dusun Banyumeneng I ini dengan cara mengajukan proposal
pembangunan sistem pengangkatan air tenaga surya. Selain radiasi
matahari yang memungkinkan, tenaga surya dipilih berdasarkan fakta bahwa
jaringan listrik terdekat berjarak cukup jauh dari sumber, sehingga
akan sulit untuk diupayakan. Selain itu, jarak stasiun pengisian bahan
bakar juga jauh dan medannya tidak memadai untuk dilalui kendaraan roda
empat, sehingga sistem pengangkatan air tenaga diesel pun juga menjadi
sulit untuk diupayakan. Pada akhirnya, perjuangan para mahasiswa ini
untuk membantu para pejuang air itu berhasil. Ajang yang dibiayai oleh
UNESCO ini mereka menangkan. Dana sebesar 20.000 Euro siap mengalirkan
air di dusun ini.
Tahun 2008, secercah harapan muncul ketika
serombongan remaja datang ke wilayah mereka. Remaja-remaja tersebut
adalah mahasiswa KKN-PPM UGM tahap I yang akan menetap di dusun mereka
selama kurang lebih dua bulan. Merekalah yang akan bertanggungjawab
merencanakan pembangunan sistem pengangkatan air tenaga surya atau solar
water pumping system tersebut. Pembangunan ini bekerjasama dengan
mahasiswa-mahasiswa dari Curtin University, Australia.
Bagi
warga Dusun Banyumeneng I, pemanfaatan energi terbarukan seperti energi
surya ini masih sangat asing, sehingga selain dilakukan perancangan,
beberapa mahasiswa bertanggungjawab untuk mengadakan sosialisasi dan
pelatihan perawatan sistem ini ke depannya. Tentu saja hal ini
dimaksudkan agar sistem menjadi sistem yang sustain dan akan masih bisa
dinikmati oleh anak cucu mereka kelak.
Juli 2009, yang merupakan
bulan eksekusi sistem, mahasiswa KKN-PPM UGM tahap II dan warga
bergotong royong membangun sistem dengan sangat antusias. Terlihat
senyum sangat bahagia di balik kelelahan mereka. Akhirnya air akan
semakin dekat.
Agustus 2009. Angin segar akhirnya berpihak pada
warga Dusun Banyumeneng I. Sedikit demi sedikit air mulai mengalir ke
tandon-tandon besar di sekitar rumah mereka. Ekspresi sangat bahagia
terlihat dari raut wajah para pengambil air itu. Dengan membawa ember
ataupun jirigen, jarak ratusan meter tidak lagi diperlukan. Hanya butuh
beberapa langkah saja untuk menggapai sumber kehidupan itu.
Di
kejauhan, terlihat sosok tua itu lagi. Masih di pagi yang cerah.
Lagi-lagi dia menggendong sesuatu di punggungnya. Akan tetapi benda
yang kini digendongnya berbeda, seikat besar rumput untuk ternaknya.
Kini waktunya yang berharga bisa dia manfaatkan untuk hal yang
produktif. Di sisi lain terlihat seorang ibu yang sedang mulai menjemur
hasil panen jagungnya. Di kemudian hari, semoga taraf ekonomi para warga
itu meningkat.