This content is currently only available in Indonesia.
Oleh Nurul Nurmala
Banyak orang yang menikmati masa
tuanya dari tabungan atau pensiunan. Uang boleh jadi adalah sahabat
setia bagi orang-orang yang telah lanjut usia dan menginginkan
ketenangan dalam mengisi sisa hidupnya. Tetapi Mbah Aceng dan Nini Oyoh,
pasangan suami istri yang menginjak usia kepala enam, nampaknya punya
definisi lain tentang sahabat setia di masa tua.
Tak ada yang
istimewa dari rumah panggung milik seorang peternak sapi di Desa
Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat ini.
Namun saat kita mengunjungi rumah bergaya klasik khas pedesaan milik
mbah Aceng, akan timbul pertanyaan dalam benak kita mengapa ada sebuah
sumur kecil yang mulutnya ditutupi sebuah penampang, berbeda dengan
sumur air biasanya yang terdapat katrol. Ini tentu saja bukan sumur
biasa. Sumur ini menjadi sumber penghidupan bagi kebutuhan energi untuk
keperluan masak-memasak bagi rumah yang dihuni oleh dua orang anggota
keluarga yang telah lanjut usia.
"Ini adalah penampungan untuk
menyimpan kotoran sapi, nanti kotoran tersebut diaduk di tempat ini"
ujar Mbah Aceng. Ternyata sumur yang terlihat seperti sumur air
berdiameter sekitar satu meter adalah penampungan kotoran sapi sebagai
bahan baku pada proses biogas. Biasanya sekali melakukan proses ini,
Mbah Aceng memerlukan kotoran sapi sebanyak empat gembolan atau empat
ember besar cat tembok King Kong. Alhasil Nini Oyoh dapat memasak dengan
menggunakan gas gratis bermodalkan kotoran sapi sebanyak empat gembolan
per satu kali proses. Satu proses pengadukan kotoran sapi biasanya
dapat memenuhi kebutuhan masak-memasak selama beberapa bulan lamanya
tergantung pemakaian.
Saat ditanya bagaimana rasanya menggunakan
biogas untuk memasak, Nini Oyoh bersemangat mencurahkan isi hatinya "Ah
tidak, nini takut, tidak bisa menggunakan kompor biogas". Begitulah
kesan pertama saat Nini mendapatkan kompor biogas. "Aneh ya kenapa ya
kotoran sapinya berputar dan bisa menjadi api?" Penjelasan dari
pertanyaan yang berputar di pikiran Nini sulit dipahaminya sehingga ia
menjadi takut menggunakan biogas. Selain itu banyaknya berita yang
beredar di media massa yang mengabarkan terjadinya ledakan akibat gas
membuat nini mengambil kesimpulan negatif. Saking takutnya nini dengan
biogas, setiap kali nini hendak memasak, si Mbah Acenglah yang selalu
menyalakan api dan kompor biogas. Namun suatu hari ketika Mbah Aceng
sedang pergi ke kebun, Nini ingin memasak air panas. Nini tentu saja
sangat kesulitan dan takut sekali menyalakan kompor sementara ia
benar-benar memerlukan air panas. Nini pada saat itu galau di antara
pilihan dia harus rela kebutuhannya tidak terpenuhi atau melawan rasa
takut. Entah mendapat bisikan apa, nini akhirnya tidak melawan rasa
takut hanya saja ia meningkatkan keberanian dan rasa percaya dirinya
untuk menyalakan kompor biogas. Hasilnya ia kaget bukan main karena
tiba-tiba api biru menjulang tinggi hampir setara dengan tinggi
badannya. Saat nini menunjukan api dari kompor biogas kepada saya memang
benar, apinya sangat besar dan menjulang tinggi. Setelah kejadian itu,
nini menjadi berani dan mulai nyaman menggunakan kompor biogas. Malah,
nini menjadi asyik memasak karena masakan nini menjadi tetap senikmat
masakan dulu dengan biaya Rp0 untuk membeli gas.
Usia yang tidak
muda lagi bagi Nini Oyoh membuat ia selalu mengeluhkan rasa mudah lelah
dan tidak kuat lagi melakukan pekerjaan yang berat. Iapun berhenti
bekerja menjadi penjual makanan keliling. Kakinya sudah tidak kuat lagi
menempuh perjalanan mengelilingi rumah-rumah di desa ini. Tidak jauh
berbeda seperti yang dialami Nini Oyoh, Mbah Acengpun mulai merasa tidak
bisa bekerja maksimal. Ia hanya mampu berkebun dan mengurusi
satu-satunya sapi jenis Fries holland miliknya. Kondisi seperti ini
tentu saja mempengaruhi ekonomi pasangan usia emas ini. Kenaikan harga
terutama kebutuhan pangan sangat menyulitkan mereka. Untung saja dengan
adanya biogas ini Mbah Aceng dan Nini Oyoh merasa sangat terbantu.
"Kantun cetrék wé nganggo kompor biogas mah, bérés wé teu capé sapertos
na hawu ogé teu kedah mésér élpiji" (Tinggal cetrék untuk menggunakan
kompor biogas, selesai sudah, tidak capek seperti menggunakan kayu bakar
dan tidak usah membeli gas elpiji) ujar Nini Oyoh sambil tersenyum.
Mbah
Aceng dan Nini Oyoh sudah menggunakan biogas mulai dari tahun 2007.
Pada waktu itu, Mbah Aceng dan 29 kepala keluarga lainnya mendapat
peralatan dan pemasangan reaktor biogas gratis dari kelompok Harapan
Sari. Kelompok ini adalah kelompok yang beranggotakan peternak sapi di
Desa Haurngombong. Salah satu pelopor gerakan untuk menggunakan biogas
khususnya bagi peternak sapi di desa ini adalah Pak Komar yang merupakan
dosen di jurusan ilmu peternakan Universitas Padjadjaran. Dengan modal
awal dari kas kelompok yang pemasukannya berasal dari penjualan susu
sapi para peternak, Pak Komar melakukan pemasangan reaktor biogas secara
gratis ke beberapa peternak. Setelah diuji coba beberapa waktu akhirnya
beliau mengajukan proposal bantuan dana untuk pengembangan lebih lanjut
di desa ini kepada Bappeda dan PLN. Tiga puluh lebih rumah peternak
sapi di desa ini mendapatkan reaktor biogas. Salah satunya tentu saja
rumah Mbah Aceng.
Program yang dipelopori oleh Pak Komar ini
nampaknya tidak seratus persen berjalan mulus. Banyak peternak yang
malas mengumpulkan dan mengaduk kotoran sapi sebagai bahan baku biogas.
Hasilnya banyak reaktor yang tidak berfungsi bahkan ada yang sampai
rusak karena perawatan yang tidak baik.
Berbeda dari kebanyakan
warga lain, Mbah Aceng selalu rajin mengumpulkan kotoran sapi untuk
biogas. Buktinya sudah hampir enam tahun ini, biogas di rumahnya tak
pernah padam. Ia memperlakukan biogas sebaik ia memperlakukan sahabat
sejati. Walaupun Mbah Aceng dan Nini Oyoh tidaklah memiliki tabungan
masa tua yang banyak dan tidak ditemani oleh anak-anaknya yang sudah
pergi merantau, pasangan ini tetap setia bersama ditemani biogas yang
menjadi sahabat setia untuk menemani keperluan sehari-hari. Kita tahu
biogas menjadi energi terbarukan yang tak pernah habis tapi menurut Mbah
Aceng dan Nini Oyoh lebih dari itu. Biogas menjadi representasi energi
dan semangat diri mereka yang tak pernah padam untuk mengubah kehidupan
yang harmonis dengan alam dan lingkungan walau di usia mereka yang
berada di penghujung kehidupan.