Ada Sebuah Kemajuan

Inside Indonesia - “Anda bisa mendapatkan kotoran unggas tanpa telur, tetapi anda tidak akan dapat mendapatkan telur tanpa adanya kotoran,� jelas Arum Ahmad Aris, seorang peternak puyuh asal Blitar, Jawa Timur. “Burung-burung puyuh saya mengeluarkan uang. Hitungan saya setiap kali burung-burung saya membuang kotoran saya mendapat uang lima rupiah.�

Biogas milik Arum dibangun pada bulan Juli 2015. Setiap hari ia memasukkan 20 kilogram campuran kotoran burung puyuh dan air ke dalam reaktor biogas, dan sebagai imbalannya mendapatkan gas metan yang disalurkan lewat pipa langsung ke kompor biogas khusus. Ia mengklaim penggunaan gas ini telah mengurangi secara signifikan penggunaan LPG, dan memungkinkan istrinya untuk memasak bagi keluarga dan mengelola bisnis katering kecil-kecilan. Penghematan biaya per tahunnya mencapai 6 juta rupiah atau kira-kira setara empat kali UMR.

Di tengah masyarakat agraris seperti Indonesia, biogas memegang kunci untuk harta kekayaan lainnya; biogas skala rumah tangga, seperti yang dimiliki Arum, berpotensi untuk mengubah limbah pertanian menjadi sumber gas terbarukan untuk memasak. Pemerintah bergulat dengan besarnya subsidi bahan bakar fosil, sebagian di antaranya untuk tabung LPG ukuran tiga kilogram. Biogas dapat menggantikan bahan bakar tak terbarukan, sehingga mengurangi subsidi tanpa meningkatkan pengeluaran konsumen.

Subsidi LPG

Pada tahun 2007 pemerintah Indonesia memulai program konvesi minyak tanah ke LPG. Tujuannya dua:  menekan besarnya subsidi untuk minyak tanah dan memberi akses kepada rumah tangga berpenghasilan rendah dan usaha kecil kepada sumber bahan bakar bersih. Menurut laporan lembaga non-pemerintah, yaitu Institute of Sustainable Development (IISD), proyek ini ditujukan untuk 42 juta rumah tangga di seluruh penjuru negeri. Setiap penerima diberikan seperangkat yang terdiri dari tabung LPG 3 kg, kompor gas, dan perlengkapannya.

Program ini mencapai keberhasilan yang luar biasa. Data dari situs web Pertamina – perusahaan minyak dan gas milik negara yang mendapatkan lisensi untuk menjual LPG – menunjukkan hingga hari ini lebih dari 57 juta tabung yang telah didistribusikan ke seluruh penjuru negeri. Penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk keperluan memasak telah berhasil ditekan dari 9,85 juta kiloliter di awal program konversi, menjadi hanya 0,85 juta kiloliter di tahun 2015.

Sejak tahun 2007, penghematan subdisi minyak tanah terhitung sebesar Rp 197 triliun. Sebaliknya, subsidi LPG, meningkat setiap tahun. Pada tahun APBN 2016 mengantisipasi subsidi LPG akan mencapai Rp 31 triliun. Subsidi bahan bakar fosil sudah menjadi permasalahan utama bagi pemerintah Indonesia. Pada tahun 2013, subsidi tersebut mencapai sekitar 20 persen dari pengeluaran negara. Meskipun subsidi LPG berawal dari inisiatif untuk penghematan biaya, subsidi tersebut telah diawasi secara ketat.

Salah satu alasannya yaitu, seperti minyak tanah, subsidi LPG menjadi beban finansial. Awal tahun ini, pemerintah membuat rencana untuk menekan subsidi LPG sebesar Rp 1.000 untuk setiap kilogram, namun belum dilakukan, oleh karena adanya penurunah harga gas secara global. Indonesia mengimpor 60 persen dari seluruh kebutuhan LPG nya, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa subsidi akan membebani pengeluarang pemerintah ketika harga-harga kembali naik.

Masalah lain adalah penggunaan LPG secara besar-besaran oleh kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Laporan terpisah yang dikeluarkan oleh IISD menemukan hanya 3,8 persen subsidi LPG yang menjangkau kelompok berpenghasilan paling rendah, sementara 53,8 persennya menjangkau kelompok penghasilan tertinggi. Tabung gas tiga kilogram sejatinya hanya diberikan kepada rumah tangga berpenghasilan rendah dan usaha kecil, namun pada prakteknya semua orang bisa membeli tabung LPG tersebut.

Pemerintah berusaha untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Salah satu saran yang diberikan adalah untuk membangun infrastruktur gas alam di kota-kota, sehingga warga tidak perlu membeli LPG subsidi. Program percontohan juga menjadi pertimbangan seperti pemantauan terhadap dunia usaha, hotel, dan konsumen berpenghasilan tinggi  untuk memastikan mereka hanya membeli gas non-subsidi, yang secara mencolok dijual dalam tangki berbeda.

Kasus biogas

Wasis Sasmito, seorang koordinator program biogas (Biogas Rumah) atau BIRU tingkat provinsi di Jawa Timur menyatakan dalam wawancara lewat telepon berharap bahwa dengan kehadiran biogas masyarakat Indonesia yang tinggal di kawasan pedesaan dapat ‘membantu pemerintah untuk mengurangi beban subsidi.’ Reaktor biogas yang diproduksi oleh BIRU memiliki masa pakai minimum 25 tahun, yang artinya setelah proses instalasi selesai, tidak ada lagi biaya-biaya tambahan untuk tahun-tahun selanjutnya.

Hampir 18.000 ketel pengolah biogas telah dibangun oleh Program BIRU. Wasis memperkirakan bahwa ini bermakna sekitar 20.000 rumah tangga di kawasan pedesaan tidak lagi membutuhkan LPG. Menurut perhitungannya, rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi paling tidak dua tabung LPG berukuran tiga kilogram setiap tahunnya. Dengan jumlah subsidi LPG yang diberikan pemerintah saat ini sebesar Rp 5.750 per kilogram, Program BIRU telah membantu pemerintah untuk menghemat Rp 7,2 milyar per tahun.

Salah satu orang yang mendukung program biogas adalah Royani Marhan, pemilik yayasan sosial non-pemerintah, Tayseer. Sebagai bagian dari misinya untuk meningkatkan kemandirian di tingkat lokal.  Tayseer telah memfasilitasi program konstruksi biogas dan kewirausahaan. Menurut Royani, biogas dapat menekan pengeluaran rumah tangga dan bahkan memberikan keuntungan.

Laporan lapangan yang disusun oleh Tayseer menunjukkan biogas telah mendukung penerima manfaat program ini secara finansial dengan cara-cara yang signifikan. Di samping itu pengurangan kebutuhan konsumsi LPG untuk memasak telah menghemat kurang lebih Rp 40.000 per bulan, kelebihan gas telah digunakan untuk memulai atau mendukung industri rumah tangga. Produk fermentasi sampingan berbentuk padat yang dikenal sebagai bio-slurry dapat digunakan sebagai pupuk atau kompos.  Royani berkata salah seorang klien yang menjadi percontohan adalah seorang pemilik yayasan yatim piatu di Rembang, yang menggunakan bio-slurry untuk menanam jamur dan beternak cacing, dan kemudian menjual pupuk cacing sebagai kompos.

Royani mengatakan bahwa kemandirian dalam bidang energi dan produksi pangan yang disediakan oleh biogas akan membantu melindungi konsumen Indonesia dari perubahan yang terjadi di pasar global. Teknologi ini secara eksklusif harus ditujukan pada konsumen berpendapatan rendah yang tinggal di pedesaan, oleh karena mereka adalah masyarakat yang cenderung memiliki hewan ternak. Limbah dari hewan adalah semua yang dibutuhkan untuk menghasilkan gas dan dua ekor sapi dapat menyediakan kotoran yang memadai untuk kebutuhan memasak rumah tangga.

Saya mewawancarai Royani ketika mengemudikan kendaraan di sepanjang pantai utara Jawa untuk berkunjung ke yayasan yatim piatu di Rembang. Sebuah tongkang terapung di tengah laut yang bermuatan batubara dari Kalimantan. “Pulau ini dulunya dikenal sebagai salah satu pulau tersubur di dunia,� ujarnya, “sekarang polusi dan limbah adalah permasalahan terbesar kami. Alam tidak dapat dipaksa, kita harus pintar-pintar mengikuti pola-polanya.�

Energi terbarukan acapkali dipahami hanya dari perspektif lingkungan. Indonesia memperlihatkan organisasi-organisasi di tingkat lokal, seperti BIRU, dapat menghasilkan manfaat finansial yang menjangkau tataran pemerintah tertinggi. Memandang dari arah laut ke arah selatan, Royani menunjukkan bukit-bukit hijau di Jawa: ‘Akan jauh lebih indah apabila para petani kita mulai menggunakan biogas,’ ujarnya.

Joshua Parfitt (mail@joshuaparfitt.com) tinggal di Yogyakarta. Ia adalah seorang wartawan lepas dengan minat terhadap lingkungan dan energi terbarukan.

(Sumber: http://www.insideindonesia.org/somethings-cooking)

30 November 2016