Sepenggal Kisah Pengguna Biogas Rumah di Mauhau, Waingapu – Sumba Timur

Adalah Seli (32) dan John Ludji (41), petani yang menyuplai sayuran dan buah ke kota Waingapu di Sumba Timur. Mereka sudah mendengar informasi tentang Program Biogas Rumah (BIRU) sekitar dua tahun yang lalu. Karena kurang yakin dengan kualitas biogas yang sudah banyak dibangun namun tidak menyala, mereka belum ingin memakainya.

Berawal dari keprihatinan atas mahal dan sulitnya mendapatkan minyak tanah di kota Waingapu, Seli terus berupaya mencari jalan keluar memenuhi kebutuhan keluarganya ini. Suatu ketika ia menyaksikan sendiri orangtuanya membangun reaktor biogas setelah bekerja sama dengan Yayasan Rumah Energi. Suaminya, John, juga antusias karena sudah mendengar bahwa biogas rumah yang dibangun oleh Yayasan Rumah Energi benar-benar menyala.

“Kalau yang bangun biogas yayasan (Rumah Energi) saya percaya karena yayasan kerja benar dan sudah banyak yang menyala” kata John

Saat itu juga mereka langsung memutuskan untuk membangun satu unit di kediaman mereka di Mauhau, Waingapu.

Bermodalkan tiga ekor babi dan dua ekor sapi, reaktor sebesar 6m3 dibangun. Pembangunan dilakukan oleh mitra BIRU Koperasi JasaPeduli Kasih. Sejak itu, Seli mengatakan selamat tinggal pada minyak tanah.

“Mau di Waingapu ada minyak tanah atau tidak, mahal atau tidak, kayu api basah atau tidak, tidak peduli. Dengan biogas rumah kompor saya menyala kapan saja saya perlu” kata Seli sambal tersenyum simpul.

Keluarganya kini mengandalkan biogas dari Program Biogas Rumah untuk keperluan memasak. Mereka bisa berhemat cukup banyak.

Menjelang Natal, sesuai komitmen pasangan ini kepada gereja, mereka membuat lebih dari 70 loyang kue bolu basah untuk dibagikan kepada para janda di sekitar lingkungannya. Semua kue dibuatnya dengan menggunakan kompor biogas.

Akhir Januari 2016, Rumah Energi memberikan sosialisasi program GADING di Mauhau. Organic Fertilizer Officer Rumah Energi, Yudha Hartanto (42) menyarankan untuk mencoba menggunakan pupuk dari bio-slurry. Ia menjelaskan bagaimana proses pemupukan yang tepat dengan menggunakan bio-slurry kering. Namun, apa hasilnya? Nihil. Belum ada ketertarikan masyarakat sekitar mencobanya.

Sampai akhirnya, John mengalaminya sendiri. Tanaman paria mulai layu karena musim panas berkepanjangan. John, dengan putus harapan, mencoba-coba menyiram bio-slurry cair pada paria. Ajaib! Beberapa hari setelahnya, pucuk paria menjadi lebih besar (lebar).

“Sekarang biar saya capek saya tetap harus aduk dulu bio-slurry karena manfaatnya besar sekali dan kami sudah rasakan sendiri.” kata John.

Sejak saat itu John percaya dan mulai membagi pengalamannya dengan anggota kelompok tani yang lain. Sekarang kepedulianya untuk menyaring dan mengaduk kotoran hewan begitu tinggi. Tujuannya agar bisa mendapatkan bio-slurry yang berkualitas untuk lahan pertanian mereka. Mengaduk bio-slurry menjadi kegiatan rutin setiap malam sebelum tidur.

Sekarang ini, satu kompor tidak lagi cukup untuk pemakaian biogas mereka, Seli dan John berencana membangun satu unit reaktor lagi untuk memenuhi kebutuhan pupuk mereka. Tidak lagi ada keinginan menggunakan pupuk anorganik di lahan pertanian. Seli juga tidak khawatir lagi membawa si kecil ke dapur saat memasak karena dapurnya sudah bersih dan area sekitarnya tidak lagi berasap. Waktu bersama si kecil menjadi lebih menyenangkan.

Rep: ARR | Ed: AA

2 Maret 2016