Desa Benteng Gajah Menuju Mandiri Energi

Muhammad Yunus, 46, bersama karung-karung berisi pupuk padat dari bio-slurry

Sebuah papan berdiri di belokan jalan menuju Dusun Polewali dan Balocci, Desa Benteng Gajah, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Anda Memasuki Kawasan Pengembangan Biogas Rumah-BIRU Menuju Desa Mandiri Energi, begitu tulisan yang ada di papan warna biru tersebut. Desa yang terletak kurang lebih 1 km arah timur pusat Kecamatan Tompobulu ini memang sangat serius mewujudkan kemandirian energi. Salah satu buktinya adalah telah terbangunnya 30 reaktor biogas BIRU di desa mereka.

Sebagian besar penduduk di desa ini berprofesi sebagai petani dan peternak. Iklim dan kondisi tanah di desa yang terdiri dari Dusun Balocci, Polewali, Sakeang dan Harapan ini memang bagus untuk usaha pertanian dan peternakan.  Hampir setiap warga memiliki ternak sapi, yang kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan biogas.

BIRU mulai hadir di desa dengan luas wilayah kurang lebih 11 km persegi ini pada Juni 2013. Adalah Muhammad Ansar (47) yang awalnya membangun reaktor biogas di kantor koperasinya, KSU Bulu Saukang. Segera saja koperasi ini menjadi mitra pembangun BIRU yang sangat aktif dan dalam kurun waktu 1 tahun telah berhasil meyakinkan lebih banyak warga untuk membangun reaktor biogas.

Muhammad Yunus (46) adalah salah satu warga yang berhasil diyakinkan untuk membangun reaktor biogas di rumahnya. Kepala Dusun Polewali ini membangun reaktor ukuran 10 m3 di samping rumahnya setelah mendapatkan informasi dari KSU Bulu Saukang. Kini keluarganya tidak pernah memakai kayu bakar maupun LPG untuk keperluan memasak.

“Tabung 3 kilo subsidi pemerintah sudah tidak punya saya itu. Sudah saya kasih (ke) orang,” kata Yunus. Yunus bahkan masih bisa menggunakan gas yang dihasilkan untuk lampu selama 3 jam per hari.

Keberhasilan promosi teknologi biogas ini diakui Ansar adalah karena banyaknya manfaat yang dapat diambil dari biogas ini.

“Jika memang mau ditekuni, banyak yang bisa kita dapatkan,” kata Ansar. Selain terhindar dari polusi, ampas biogas atau dikenal dengan bio-slurry juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk. Meskipun belum dikelola secara profesional, koperasi yang ia pimpin sudah mulai merintis bisnis pembuatan pupuk organik dari bio-slurry. Sudah ada pelanggan tetap untuk produk mereka, yang justru paling banyak berasal dari Sulawesi Tenggara. Dua ribuan liter pupuk organik cair sudah dikirim ke Kabupaten Kolaka Utara dan Konawe. Sekarang, para petani di Konawe enggan menanam sebelum pupuknya datang karena mereka sudah membuktikan perbedaan hasil dari tanaman kacang yang disemprot bio-slurry dengan yang tidak.

Sementara pupuk padat yang diproduksi Yunus sendiri sudah memiliki langganan di Malino, daerah di Kabupaten Gowa yang dikenal sebagai Puncak-nya Sulawesi Selatan. Yunus menjual satu karung pupuk ukuran 50 kg seharga Rp. 30.000 kepada pemilik 3 hektar perkebunan cengkeh yang tidak mau menggunakan pupuk kimia di lahannya. Sebelumnya, sang pemilik perkebunan mengimpor pupuk dari Malaysia dengan harga Rp. 25.000 per 5 kg.

Dari reaktor yang ia miliki, setiap harinya Yunus bisa mendapatkan 50-70 kg pupuk padat dan 50 liter pupuk cair. Pupuk cair inilah yang kemudian dikumpulkan di KSU Bulu Saukang untuk dijual bersama-sama seharga Rp. 25.000 per liternya. Bandingkan dengan harga pupuk cair lain yang ada di pasaran yang dijual seharga Rp. 45.000 sampai  70.000 per liter. Sejauh ini KSU Bulu Saukang baru mengumpulkan bio-slurry dari 4 reaktor yang sudah tidak menggunakan air sebagai campuran kotoran ternak sebelum diproses menjadi biogas, tapi menggunakan urin ternak. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas pupuk yang akan dijual.

Ansar mengatakan cara efektif untuk mempromosikan bio-slurry ini adalah dengan menunjukkan hasilnya. Untuk lebih meyakinkan masyarakat yang akan membangun reaktor biogas, ia memberikan pupuk cair 1 liter, dengan catatan jangan disemprotkan ke semua lahan, cukup sebagian saja, agar mereka bisa benar-benar membuktikan kehebatan pupuk dari bio-slurry.

Apa yang sedang dilakukan warga Benteng Gajah bersama KSU Bulu Saukang dengan penuh semangat membuktikan bahwa teknologi biogas bisa diterima oleh masyarakat jika mereka mendapatkan pengetahuan komprehensif mengenai manfaat apa saja yang dapat mereka raih dari teknologi tersebut.

“Program sebelumnya yang gagal itu karena langsung diimplementasikan tanpa ada teknologi. Masyarakat tidak paham. Masyarakat harus diberikan teknologinya. Banyak masyarakat yang menolak biogas karena belum paham,” kata Ansar.

Ke depannya, KSU Bulu Saukang yang mendapatkan namanya dari bukit yang berdiri melatarbelakangi Dusun Balocci dan Polewali itu berharap segera dikeluarkannya ijin untuk produk pupuk mereka sehingga memudahkan mereka dalam pemasaran, tidak hanya mengandalkan relasi pertemanan dan keluarga seperti yang selama ini dilakukan. Dengan dukungan 12 pekerja pembangun terlatih, KSU Bulu Saukang menargetkan setiap keluarga yang memiliki ternak dapat membangun reaktor minimal ukuran 4 m3. Target awal mereka adalah 55 unit reaktor dari 500-an kepala keluarga di desa tersebut. Jika target ini dapat dipenuhi dan disusul oleh keluarga lainnya, Desa Benteng Gajah benar-benar bisa mandiri energi.

20 November 2014