Memanen Senyum di Kebun Burkol

Di kejauhan, kabut pagi masih menyelimuti pohon-pohon pinus di kaki bukit Taman Hutan Raya Juanda. Geliat aktivitas mulai tampak di Kampung Areng, sebuah dusun di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Jawa Barat. Para petani berada di kebun-kebun sayuran, dan para peternak merawat sapi-sapi perah mereka. Januari telah sampai pada hari kesepuluh, dan wajah para warga tampak lebih bersemangat.

Tidak terkecuali Eti. Pagi itu ia tersenyum hangat ketika ditanya di mana suaminya. “Bapak sudah sejak pagi di kebun,” ujarnya. “Hari ini mau panen kembang kol.”

“Hari ini saya memanen untuk kedua kalinya,” kata Hendra ketika ditemui di kebun “Bunga-bunga kol ini bagus, putih mulus serta ukurannya bervariasi.”

Tiap kembang kolnya, yang oleh penduduk wilayah ini disebut burkol, memiliki berat antara setengah sampai 1 kilogram. Dari dua kali panen, Hendra telah mengumpulkan seratus tanaman seberat dua kwintal.

Di tingkat pengepul, harga burkol per kilo adalah Rp. 5 ribu. Oleh seorang pengepul, seluruh kembang kolnya telah ditawar seharga Rp. 3,5 juta. Namun Hendra tidak berniat menjualnya secara borongan. Di lahan miliknya, Hendra menanam sekitar 2.700 bunga kol. Menurutnya panen kali ini dapat mencapai sekitar 1.200 kilogram. Dikalikan dengan harga jual sekarang, panennya bisa memberikan pendapatan kotor sekitar 6 juta rupiah, angka yang cukup besar bagi petani seperti Hendra.

Panen beberapa komoditas pertanian memang ditunggu-tunggu oleh para petani Kampung Areng. Penghasilan dari menjual susu segar di tingkat koperasi terbilang sedang lesu, tidak seimbang dengan biaya pemeliharaan. Maka persiapan lahan sebelum penanaman menjadi begitu penting, agar pertumbuhan tanaman dan panen kelak tidak mengecewakan.

Hendra selalu mempersiapkan lahannya dengan telaten. Setelah mencangkuli tanah dan menaburkan pupuk dasar, ia pun membuat bedengan yang kemudian ditutupi dengan mulsa. Panjang tiap bedengan tujuh meter, dengan lebar satu meter dan tinggi 40 sentimeter. Pada lahannya yang seluas 1.000 meter persegi, tahap-tahap awal ini memakan waktu sekitar dua minggu dengan tenaga kerja sebanyak lima orang. Setelah lahan siap, tahap selanjutnya adalah penyemaian benih dan menantinya tumbuh selama dua minggu sebelum dipindah ke bedengan. Penanaman bibit di bedengan memakan waktu sekitar satu minggu, dengan jarak tanam sekitar 50 sentimeter dari satu ke yang lainnya.

Total biaya produksi kebun burkol Hendra hampir mencapai Rp. 3,8 juta. Bila dikurangi dari pendapatan kotor sebesar Rp. 6 juta, hasil penjualan selama kira-kira 2,5 bulan, maka laba bersih yang didapatkan Hendra adalah sekitar Rp. 2,2 juta.

Bila dirinci, jumlah ongkos produksi kebun burkol Hendra meliputi upah kerja lima orang, pembelian bibit, obat-obatan, pupuk kandang, serta mulsa. Menurut Hendra biaya produksi ini dulu lebih besar, sebelum ia menggunakan ampas biogas atau bio-slurry yang dihasilkan reaktor BIRU miliknya sebagai campuran pupuk kandang.

Kebun kembang kol Hendra tidak sepenuhnya diberi pupuk organik. Ia masih menyertakan obat-obatan serta pupuk kimia seperti pupuk KNO, antrakol, treser, dan pestisida skor. Namun selebihnya Hendra menggunakan kompos dari kotoran sapi dicampur kascing bio-slurry, yakni pupuk organik bercampur bio-slurry yang telah melalui proses penguraian dan pengeringan oleh cacing merah. Pada masa pertumbuhan tanaman, Hendra memberikan larutan pestisida yang dicampur dengan bio-slurry cair tiap minggu selama satu setengah bulan. Dalam hal ini, Hendra merasa mendapat keuntungan lebih dari reaktor BIRU-nya.

Sebelumnya Hendra selalu menyertakan pupuk kotoran ayam saat menyiapkan lahan. Pupuk organik hasil pengolahan bio-slurry dengan cacing merah yang kini ia gunakan ternyata tidak kalah berkualitas. Hendra pun siap menggunakan formula yang sama untuk penanaman sayur-sayuran jenis lain di kebun-kebunnya yang menghadirkan senyum. (Deni Suharyono)

27 Juni 2012